20. Perhatian

29 8 0
                                    

Sekembalinya dari mengantar Nera, Heza langsung diadang empat temannya.

"Kamu enggak apa-apain dia, 'kan?" seru Derina.

"Aku apain emang?" Heza sampai mengangkat tangannya, kaget.

"Habis lama, sih!"

"Mohon maaf, saya 'kan butuh waktu buat jalan, enggak bisa teleportasi!"

"Sudah, sudah." Syafa menengahi, padahal biasanya ia yang ribut.

"Tadi kalian abis ngapain aja?" tanya Heza.

"Nemenin Evan main," jawab Yosi. Baru bertemu sekejap, dua orang itu sepertinya sudah langsung akrab.

Heza menghela napas. "Ada-ada aja. Kejadian tadi benar-benar di luar dugaan, ya."

"Heja, kamu enggak ngasih obat tidur ke dia, 'kan?" tanya Syafa tiba-tiba.

"Ya, enggak, lah! Emangnya aku kriminal?" Heza langsung tersulut.

"Yah ... habis, kamu aneh, sih." Syafa memutar matanya, lalu nyengir. "Sorry, no offense."

"Enggak usah ikutan sok enggres kamu!" Heza tambah emosi.

"Enggak papa, kali," sahut Yosi kalem. "Biar kedengeran terpelajar. Aslinya sih ... entah, lah, ya ...."

"Yos!" Syafa menggerutu, tetapi ia tak melanjutkan.

"Ya sudah, sekarang ... mau ngapain?" Heza kembali buka suara.

Hening.

"Pinjem Netflix aja, Ja," usul Syafa tiba-tiba. "Jangan belajar mulu. Ngepul, ngepul dah tuh kepala."

"Anda kira ini home Cinema? Bayar!" Heza lagi-lagi ngegas.

"Nonton apa?" Evan, yang sejak tadi diam—lebih tepatnya, memainkan ponsel sambil bergumam-gumam dan mengumpat pelan, akhirnya buka mulut.

"Percayakan padaku!" Syafa langsung menyerobot laptop Heza.

"Salat Asar dulu," ucap Heza.

Semua langsung hening.

****

Malam itu, Heza kesulitan tidur. Perasaan bersalah menggerogoti hatinya. Mana ia tahu kalau Nera bisa sampai terpicu? Namun, itu juga baru dugaan. Nera sendiri menekankan kata mungkin ketika bicara dengannya tadi.

Besok masuk seperti biasa. Begitulah yang ada di broadcast grup angkatan dan kelas. cast grup angkatan dan kelasnya. Sekarang, Heza kepikiran yang lain juga. Apakah Nera mengetahui info itu? Rasanya tidak. Ponselnya hilang, bukan?

Kenapa dia jadi overthinking begini?

Heza memandangi ponselnya agak lama. Chat terakhirnya dengan Nera sama sekali belum ada tanda-tanda sudah dibaca. Yah, kalau ada yang balas, malah horor. Heza menarik napas panjang dan melepasnya perlahan.

"Besok aku ke sana deh," gumamnya memutuskan. Entah apa motivasi Heza sebenarnya, apakah ia memang ingin mengabari Nera, atau hanya modus ingin bertemu sebelum masuk sekolah.

Namun, Heza sudah bertekad. Maka, keesokan harinya, ia berangkat lebih pagi dari biasanya. Setelah naik angkutan umum dua kali seperti biasa, ia berbelok ke jalan yang kemarin ditunjukkan Nera. Saat sampai di depan rumah berpagar cokelat yang ditumbuhi tanaman rambat itu, Heza mendadak ragu. Bagaimana ia bisa masuk? Ini 'kan kosan khusus perempuan. Ia tak mungkin asal selonong, tidak bisa pula asal memencet bel–ia pun tak menemukan tombol bel.

Bodoh sekali, bukan?

Maka, Heza akhirnya hanya berdiri diam sambil bersandar tembok pagar. Ia mengecek jamnya, masih pukul enam. Nera biasanya tiba di sekolah sekitar dua puluh menit sebelum bel masuk, yang Heza perkirakan berarti jam-jam sekarang ini Nera keluar. Jalan kaki dari sini sampai sekolah sekitar sepuluh menit.

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now