5. Si Anak Cengeng?

38 13 7
                                    

Bodoh sekali.

Heza memang sudah menduga jawaban itu, tetapi ia malah terpaku.

Masa, sih?

Apa benar Nera di depannya adalah orang yang Heza cari sembilan tahun belakangan, kalau memang ia mencarinya? Apa ia kalau menangis—

Sudah, sudah. Jangan berpikir ke sana.

"Maaf? Kenapa kamu bengong?"

Heza langsung tersadar. Ia melonjak sedikit. "Hah! Oh, itu, namamu bikin aku ingat sesuatu." Heza menggaruk kepalanya. Rasanya, ia tak pernah secanggung ini. Heza adalah makhluk yang tak tahu malu, mestinya.

"Sesuatu? Oh, mungkin namaku pasaran." Nera mengangguk-angguk saja. Ia merapikan tempat pensil dan buku gambarnya, tampak bersiap angkat kaki.

"Bukan ... bukan pasaran. Brunnera. Itu nama bunga, 'kan?"

Pergerakan Nera terhenti. Ia tertegun sesaat sebelum akhirnya menjawab. "Ya, nama tanaman." Ia meraih tas selempangnya dan mengangguk kecil. "Aku duluan, ya."

Heza masih mematung agak lama, memandangi rambut hitam panjang anak perempuan tadi yang hampir menutupi seluruh punggung kemejanya. Ketika Nera menghilang dari pandangan, barulah Heza benar-benar sadar.

"Si bego!" Ia langsung berseru. "Aku ngapain tadi? Heh? Hoh?" Ia menampari wajahnya sendiri sampai pipinya terasa panas.

Tunggu, sepertinya ia sudah merasa panas dari tadi.

"A-a-a ...." Heza terbata-bata bicara sendiri. Ia menggeleng kuat. Hei, bukankah Evan menunggunya di kantin? Sebaiknya, ia kembali sekarang. Ia melenggang keluar kelas, tanpa sadar masih melakukan gelagat salah tingkah. Tangan kanan menggaruk tengkuk, tangan kiri menutupi separuh wajah. Ia tak bisa membohongi pikirannya sekarang.

Anak itu ... imut banget!

****

Awal SMA. Sama seperti halnya sembilan tahun lalu saat awal SD, Heza diliputi rasa penasaran. Mungkin, rasa penasarannya kali ini sudah terjawab separuhnya.

Nera. Nera.

Nama anak perempuan itu sekarang membayangi Heza, lebih menekan daripada dulu. Bukan hanya nama, tetapi wajahnya juga.

Kayaknya aku benar-benar gila! Heza mengeluh dalam hati.

Sudah dikatakan, bukan? Lima belas tahun hidup, Heza tak pernah naksir perempuan, justru ia malah membuat dirinya sendiri menjadi musuh bersama para perempuan. Lalu, apakah sekarang rekor itu terpatahkan?

Heza bertekad dalam hati. Baiklah, mari bertingkah normal.

Entah normal yang ia maksud itu normal menurut patokan orang lain atau dirinya sendiri, karena tolok ukur normal Heza jelas berbeda.

Hari pertama masuk sekolah secara resmi, Heza lebih sering menonton dan memperhatikan Evan yang belum apa-apa sudah sibuk main gim di laptopnya. Selanjutnya, ia ikut mengeluarkan laptop. Setelah itu, anak-anak lelaki pun berkerumun di tempat mereka, yang kini sepertinya menjadi kelompok gamer tersendiri.

Distraksi yang cukup bagus untuk Heza. Ia jadi tak memikirkan cara untuk mengganggu anak-anak perempuan sampai menangis–jujur saja, pikiran itu sempat muncul di benak Heza. Yah, benar-benar kebiasaan lama yang sulit dihentikan.

Meski begitu, tiap Heza melihat Nera, jantungnya kembali berdegup keras. Lebih keras daripada diomeli Ayne, apalagi Syafa. Dan lagi, Nera bahkan tidak melihat ke arahnya ataupun bicara! Lantas, mengapa Heza begitu deg-degan? Ia ingin, ingin sekali mengajak Nera bicara, tetapi lidahnya kelu. Ingin melihat lagi gambar yang waktu itu. Ingin memastikan apakah benar ia yang pernah tinggal di rumahnya dulu, yang menggambar coret-coretan di dinding, yang muncul di pikirannya.

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now