35. Prasangka

11 7 0
                                    

Ponsel terjatuh begitu saja dari tangan Nera.

Apa ... yang terjadi ...?

Suara panggilan masuk pesawat terdengar. Nera buru-buru memungut ponselnya. Ia melangkah meski kakinya masih gemetar.

Nanti dulu. Nanti dulu. Tenang, Nera. Sebelum berangkat nanti coba kontak lagi.

Nera sudah duduk di kursinya. Tangannya gemetar sambil memainkan ponsel. Ia coba mengontak Heza, hanya terdengar nada sambung tanpa ada yang mengangkat.

Sesuatu pasti terjadi!

Nera rusuh mengirim pesan ke kelompok belajarnya. Tak ada yang tahu, juga tak ada yang bisa mengontak Heza. Ia pun mengontak Syafa. Anak itu juga tak tahu. Namun, Syafa menawarkan solusi: mencari ke rumah Heza.

Syafa: Aku akan ke sana bareng Yosi. Tolong tenang dan doakan ga ada apa-apa, Nera. Aku bakal langsung kabarin kamu.

Nera masih merasa napasnya tercekat, tetapi ia sedikit lebih lega.

Nera: Aku mau lepas landas. Aku tunggu satu jam lagi. Maaf bikin rusuh pagi-pagi.

Syafa: Ga masalah! Heja teman kami juga. Tapi kenapa kamu bisa sadar kalau dia ga bisa dikontak? Coba telponan?

Nera menelan ludah. Tak tahu diri, saat begini, ia masih saja salah tingkah.

Nera: Heza nelepon aku, kayaknya mau ngabarin sesuatu. Kedengerannya senang banget, tapi tau-tau ... ada suara BRAK terus telepon mati.

Tak ada balasan sampai cukup lama. Nera baru hendak mematikan ponselnya ketika pesan dari Syafa masuk.

Syafa: Baiklah. Aku ke sana secepatnya. Safe flight, Nera. Kamu lagi di perjalanan, banyak doa aja.

Nera menelan ludah gugup. Namun, setelah mendapat sedikit solusi dari Syafa, ia sudah merasa lebih tenang. Mungkin, sebaiknya, ia tidur saja.

****

"Nera?"

Nera luar biasa kaget ketika membuka mata dan ada tangan yang mengulur ke arahnya. Ia sampai berjingkat dan ... terjatuh?

Ia tidak ada di dalam pesawat?

Ini mimpi. Batin Nera langsung menghakimi.

"Hei, hati-hati, dong. Kamu 'kan baru bangun tidur." Lagi, tangan itu mengulur, kali ini lebih dekat.

"Heza?" Nera memicing. Ia tak bisa melihat wajah orang di hadapannya. Samar. Blurry.

"Ya? Kenapa?"

"Kenapa ada Heza di mimpiku?" Nera mencubiti pipinya sendiri.

"Haha, mungkin ... kamu kangen aku."

Hah?

"Padahal cuma enggak ketemu dua hari lebih, ya ... kamu segitunya mikirin aku?"

Mimpi ini aneh sekali!

Nera sudah duduk tegak, masih berusaha keras mengulik wajah orang di hadapannya. Ya, mereka bersila, tepat berhadapan.

"Nera, Nera. Kamu sudah janji, lo."

"Ya?"

"Janji enggak akan berpikiran buruk lagi, 'kan?"

Nera terperangah. Karena pertanyaan barusan, juga karena tangan orang di hadapannya tiba-tiba menepuk-nepuk kepalanya dengan lembut.

"Ayo, pikirkan hal-hal baik aja. Bukankah itu fungsiku? Biar kamu bisa terus berpikiran baik. Mau ada aku atau enggak?"

"Iya ... hah?" Nera agak tersentak dengan kalimat terakhir.

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now