33. Perasaan

20 7 0
                                    

Pagi itu, Nera kembali mengikat rambutnya. Ia berusaha tidak berharap apa-apa. Semalam, ia sudah mencoba chat Heza, menanyakan kabar. Heza hanya menjawab, ia sudah baikkan.

Benarkah? Kalau dia masih demam gimana? Enggak masuk sekolah.

Karena itulah, Nera nyaris menjerit ketika melangkah ke teras dan mendapati Heza sedang duduk-duduk sambil menikmati gorengan—Asma yang menyuguhkan.

"Hai, Nera! Aku beneran udah sehat, kok." Heza nyengir teramat lebar, seolah berusaha keras menunjukkan bahwa sungguhan ia baik-baik saja.

"Mau bawa gorengan?" tawar Asma pada Nera. "Bicik plastikin, ya."

Nera sampai tak sanggup mengiakan saking kagetnya.

"Udah?" Heza bangkit, lalu berterima kasih pada Asma dan pamit berangkat sekolah bersama Nera.

Nera mengangguk pelan, lalu menyusul Heza setelah menyalami tantenya.

"Gimana perasaanmu?"

Pertanyaan Heza membuat Nera terpaku sejenak. "Perasaan?"

"Kemarin sore kamu kelihatan enggak baik-baik aja."

Nera menghela napas. "Kalau begitu, harusnya aku yang tanya kamu. Beneran sudah sembuh?"

"Kok enggak percaya, sih? Beneran. Coba pegang, masih demam enggak?" Heza bergurau sambil mendekatkan kepalanya ke arah Nera.

Nera, merasa dipinta, ia melakukan saja. Tangannya terulur dan menyentuh kening Heza.

Hening.

"K-kok beneran?!" Heza melojak sampai nyaris oleng. Wajahnya seketika merah padam.

"Lha, eh? Kukira kamu beneran minta!" Nera tak kalah kagok. Ia sampai mematung dengan posisi tangannya yang masih terangkat.

Heza berdeham. "Udah, udah. Enggak papa, udah lewat. Gimana?" Ia mencuri pandang ke arah Nera.

Nera terlalu gugup untuk menjawab normal. Ia hanya bisa mengangguk kaku. Kakinya masih terpaku. Nera sampai nyaris menjerit ketika Heza tiba-tiba menepuk pundaknya.

"Ayok, udah kesiangan lagi, nih! Mau lomba lari?"

"Eh, jangan! Kamu 'kan baru sembuh!" Nera berjalan cepat mengejar Heza yang mulai kabur.

"Duh, perhatian banget, sih!" Heza menjulurkan lidah. "Bodo amat, yang kalah traktir!"

"Ya udah, nanti aku traktir!"

"Bakso lima porsi!" Heza melambaikan tangan, berjalan makin cepat.

Nera tergelak. Ia tetap berjalan. Awalnya cepat, lama-lama melambat. Tawanya barusan sirna.

Aku benar-benar butuh dia buat bahagia.

****

Heza berkata hari ini ia tidak dijemput. Ia dan Evan masih sempat bermain gim sampai lewat setengah jam waktu bel pulang berbunyi. Syafa ada les. Derina pulang normal. Nera tetap di bangkunya, seperti biasa.

"Duluan!" pamit Evan. Sepeninggalnya, kelas itu langsung hanya tersisa dua orang.

"Ner, aku boleh duduk di sampingmu?" tanya Heza dari bangkunya.

Nera menoleh, lalu mengangguk. "Mau ngapain?"

"Enggak tahu."

Nera mengernyit. Ia memandangi saja ketika Heza beranjak dan duduk di bangku sebelahnya, lalu langsung mengempaskan kepalanya ke meja.

"Pusing?" Nera langsung cemas.

Heza melambai. "Enggak," sahutnya. "Cuma mau ngerasain aja."

"Ngerasain apa?"

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now