32. Pergolakan

22 7 1
                                    

Apa yang dirasakan Nera akhir-akhir ini?

Pertama, hampa. Itu yang ia rasakan setelah membuka buku gambar lamanya. Arus memori yang membanjiri otak membuatnya langsung tak sadarkan diri, hanya dengan satu gambar yang ia lihat: api. Atau lebih tepatnya, warna merah yang berkobar.

Saat sadar, Nera sudah berada di rumah sakit dalam keadaan menangis. Ya, ia menangis dalam tidurnya. Ia menoleh ke kanan-kiri. Lampu menyala terang, jendela menampilkan warna suram, Asma tertidur di atas bangku.

Nera tak bisa menghentikan isakannya. Ia terduduk dan sibuk mengusap mata. Saat sedang mengingat-ingat mimpinya barusan, ia lagi-lagi tak sadarkan diri. Otaknya belum siap menampung semua, pun fisiknya masih terlalu lemah.

Nera memimpikan rumah lamanya. Ketika ia hobi mencorat-coret tembok dan menunjukkan dengan rasa bangga pada ibunya. Ia juga bermimpi soal ia yang merajuk karena gambar-gambarnya "dihapus" alias ditimpa cat pelapis. Meski ibunya menyodorkan buku gambar, Nera tetap menangis. Ia corat-coret buku itu dengan penuh kekesalan. Nera masih merajuk sampai keesokan harinya ketika mereka bertolak ke bandara pagi-pagi buta, saat mereka di pesawat, sampai akhirnya menaiki taksi sebelum barang-barang mereka yang lain menyusul.

Ledakan. Kebakaran.

Nera ingat lagi bagaimana sang ibu memecahkan jendela sampai berdarah-darah demi melemparkan dirinya ke tepi jalan, sejauh mungkin dari api. Ia ingat bagaimana dirinya menangis histeris sambil memanggil-manggil ayah dan ibunya sebelum pingsan. Saat bangun, ia sudah di tempat yang sangat asing. Ganjil, seingat Nera, ia bangun dalam keadaan tertawa dan melambai-lambaikan buku gambar.

Ya, buku gambar itu.

Aku tidak pantas dicintai. Aku pantas dibenci, dimusuhi. Lihat saja. Dari kecil, aku sudah memikirkan hal buruk, dan jadi nyata. Memang sebaiknya ... aku enggak berteman lagi.

Namun, semua perkataan judes Nera setelah ia sadar sirna ketika Heza memaksanya berbalik dan menatapnya. Anak laki-laki itu tampak tak peduli dengan semua yang dikatakan Nera dan hanya peduli perasaannya sendiri. Keras kepala sekali! Meski ini pertama kali Nera mendengarnya.

"Kamu spesial buatku. Aku suka kamu bukan cuma dari sikapmu. Aku benar-benar suka sama kamu, bukan cuma sekadar teman."

Karena itulah, Nera memutuskan untuk cerita semua. Semua unek-uneknya selama ini, semua kegelisahannya, semua hal yang membuatnya membatasi diri dari lingkungan pergaulan. Biar Heza menilainya seperti apa setelah itu, ia tak peduli.

Maunya sih begitu.

Namun, Nera justru merasa jauh lebih lega setelahnya. Padahal, sebelum-sebelumnya, jika ia menceritakan hal itu ke orang lain, ia akan merasa amat sesak. Orang lain akan menghakimi. Nera memang tak pernah bertemu orang yang pengertian, di luar keluarga besarnya—atau memang tak ada? Diingat-ingat, Nera tidak pernah menceritakan hal itu sama sekali pada mereka. Baru setelah di Jakarta, ke Asma, ia menceritakan semua. Beruntung, Asma tidak menampakkan kebencian padanya, justru pengertian yang Nera dapatkan.

Reaksi yang ia harapkan. Begitu pula reaksi Heza.

Andai Nera menceritakan hal ini ke orang lain ... Derina, misal, apakah akan dipercaya? Derina tak mengalami hal buruk bersamanya, meski Derina memang belum masuk ide gambarnya. Namun, hubungannya dengan Heza tak hanya soal siapa yang menggambar dan digambar, melainkan, Heza menempati rumah masa lalunya—dan menemukan coretan lamanya.

Salah satu rahasia yang ingin Nera kuak, meski selama ini otaknya selalu menolak.

Siang itu, di rumah sakit, Nera menjalani pemeriksaan kondisi tubuh. Dokter berkata, kalau sampai sore-malam tak ada apa-apa, Nera sudah boleh pulang hari itu juga.

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now