34. Gelisah

16 7 0
                                    

Saat itu, Nera butuh tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Sore hari setelah Nera tiba di kampung halaman, Jihan dan bapaknya mengantar Nera, untuk pertama kalinya, ke makam kedua orang tua Nera. Berjarak dua kilometer dari rumah, di sebuah pemakaman Islam.

Jihan berkali-kali menoleh ke arah Nera, seolah memastikan anak itu baik-baik saja. Berkali-kali pula Nera membalasnya dengan tersenyum. "Aku enggak apa-apa, Kak. Beneran. Cuma tegang aja."

"Kamu benar-benar ingat semua?" Jihan tampak amat cemas.

"Sudahlah, Kak. Aku beneran enggak papa."

Apa mungkin Jihan menyadari gelagat Nera yang mendadak aneh lepas keluar dari kamarnya? Nera belum menyalakan ponselnya lagi sejak tadi, setelah ia mengirim pesan terakhir ke Heza. Ia takut dengan jawaban Heza. Lebih tepatnya, takut harus menjelaskan apa yang ia rasakan sekarang.

Mereka tiba di tempat pemakaman itu. Nera, sambil dicengkeram Jihan, berjalan dengan langkah pelan. Ia dituntun ke dua makam yang bersebelahan.

Hening melingkupi tiga orang itu.

Nera berjongkok perlahan, menyentuh tanah di hadapannya. Jihan memberinya air botolan untuk disiramkan ke tanah makam, sementara Alam menancapkan batang kayu yang masih basah ke keduanya.

Nera menggigit bibirnya. Rasa bersalah kembali menghantui, namun kali ini ia bisa menekannya. Nera tidak histeris. Ia sudah lebih legowo, lebih bisa menerima.

"Ibu, Bapak, Nera kembali."

Hanya semilir angin yang mengisi keheningan di antara perkataan Nera.

"Soal kejadian hampir sepuluh tahun lalu itu ... Nera ingat lagi sekarang, dan Nera minta maaf sedalam-dalamnya. Maaf ... aku cuma anak kecil umur lima tahun yang hobi merajuk. Maaf ... karena ...."

Nera kesulitan melanjutkan kata-katanya. Ia menunduk. Sesak sekali rasanya. Namun, tak setetes air mata pun keluar.

"Nera bersalah ...." Nera makin dalam menunduk. "Maaf ... cuma itu yang bisa Nera sampaikan. Nera sudah tahu di mana pusara kalian sekarang, Nera akan sering mendoakan kalian. Maaf ... Nera seperti anak durhaka, ya? Nera enggak bermaksud. Tapi ... tapi, Nera trauma ...."

Nera masih menunduk beberapa lama di sana, sampai akhirnya ia berdiri dan menatap Jihan.

"Buat sekarang sudah dulu, Kak. Sudah sore. Besok mungkin aku akan ke sini lagi, sendirian. Enggak usah diantar, aku bisa jalan kaki."

Jihan menepuk kepala Nera sambil tersenyum tipis. Tampak lega karena Nera benar-benar tidak bermasalah seperti dulu lagi.

"Apa yang terjadi di Jakarta sampai awak bisa tenang?" tanya Jihan, penasaran.

Nera menghela napas. "Aku hanya ... bertemu teman."

"Teman?"

Nera tersenyum sampai matanya menyipit, meski sebenarnya ia sedih. "Ya, teman baik. Kalau Kakak ke Jakarta, bakal aku kenalin."

"Oh, cewek atau cowok?"

"Ada yang cewek, ada yang cowok." Nera tak mau terang-terangan merujuk ke satu orang itu.

"Halah. Awak pacaran, ya?"

Nera terbatuk mendengarnya. "Enggak lo, Kak."

Jihan hanya menepuk-nepuk pundak Nera sebagai balasannya. Meski begitu, tatapannya meledek. Nera hanya memalingkan wajah, tak mau ekspresinya sampai ketahuan.

****

Malam itu, setelah usai semua kegiatan bersama keluarga besar, Nera baru menyentuh ponselnya lagi. Begitu internet dinyalakan, langsung muncul banyak notifikasi. Hal yang sangat jarang terjadi bagi Nera. Tidak hanya itu, ada juga ... panggilan tak terjawab?

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now