22. Firasat

20 8 0
                                    

Saya pusing, kayanya yang baca juga ikut pusing.

Met membaca.

****

Nera kelimpungan. Sedekat-dekatnya ia dengan Heza, ia sampai hendak membicarakan masalah itu.

"Anu, Heza ...."

"Kamu kenapa? Enggak papa?"

Lanjutan kalimat dari Heza membuat Nera melongo.

"Enggak usah cerita kalau enggak mau. Aku enggak nuntut penjelasan apa-apa, kok."

Di hadapan Nera, Heza tersenyum. Senyuman itu. Nera mendadak merasa desiran hangat di hatinya. Jantungnya berdebar lebih keras dari biasanya, memompa darahnya sampai ke wajah.

Senyuman itu ...!

"Nera? Kenapa?"

"Eng-gak papa!" Nera benar-benar tergagap sekarang. "Ka-kamu mau ngapain sekarang?"

"Hmm ... ngabisin waktu sebentar, sampai yang lain datang." Heza kembali memakai helmnya. "Yuk, Ner. Mending kita jajan dulu. Ibuku lagi enggak di rumah, dan aku muales masak."

"Ha ...? Aku ikut?"

"Ikut, lah! Eh, ada helm, enggak? Aku bawa sih."

Nera tahu, usia Heza masih belum sampai syarat minimal untuk memiliki surat izin mengemudi. Ia agak ragu karena itu, tetapi keinginannya jauh lebih kuat.

"Nera!"

Nera tersentak karena lagi-lagi tantenya muncul. "Ya?"

"Ini, buat jajan. Sekalian ungkapan terima kasih Bicik ke teman-temanmu. Beliin mereka makanan, ya." Asma muncul dan meraih tangan Nera, menyusupkan sesuatu ke sana. "Nah, Heza, jemput Nera, 'kan?"

Heza ternganga di atas motornya.

"Udah, ya. Selamat belajar."

Nera menatap Heza, lalu tersenyum kecil. "Rezeki," ujarnya pelan. "Aku enggak cuma jajanin kamu, tapi semua. Dah, yuk, buruan. Keburu pada udah sampai."

Nera mengambil helm yang diserahkan Heza, lalu duduk di jok belakang.

"Berdoalah biar enggak kena tilang," ucap Heza. "Kita bakal muter-muter soalnya."

Nera cengengesan mendengarnya. "Yah ... kuserahkan padamu, oke?"

"Oke!" Heza langsung memacu motornya keluar areal perumahan.

Nera ketar-ketir di belakang, benar-benar berdoa supaya tidak sampai kena tilang.

"Mau beli makanan apa?" Heza berseru.

"Makanan? Uh, eh ... biskuit?" Nera menjawab kagok. "Atau keripik?" Ia tambah malu mendengar Heza tertawa.

"Ke minimarket saja, ya." Heza akhirnya memberhentikan motornya di sebuah toko swalayan kecil. "Aku juga mau beli kudapan."

"Heza, aku beli itu, pada mau enggak kira-kira?" Nera menunjuk ke arah sebuah stand minuman.

"Uwooh. Boleh. Tapi aku enggak tahu pada suka apa. Aku sih apa aja boleh." Heza mengangguk. "Kalau gitu, aku ke dalam, ya."

Nera belum sempat bicara lagi ketika Heza sudah melangkah. Ia menghela napas, lalu menghampiri penjaga stand itu. Ia memesan empat minuman, boba milk tea. Rupanya, uang yang Asma berikan cukup banyak. Pandangan Nera berkeliling, mencari kudapan lain yang mungkin bisa ia beli. Namun, akhirnya, ia memutuskan menyimpan uang itu untuk makan siang nanti, jaga-jaga kalau pada ingin memesan sesuatu.

Behind Your SketchesWhere stories live. Discover now