HIRAETH 12 : Si Penahan Amarah

30 19 1
                                    

"Puas menikamku?"

Jace bangun dan mendapati Heinrich duduk di brankar ruangan dan meminum sedikit mead. Tulang-tulangnya yang remuk kini tak sakit-sakit amat, dan tangannya yang kapalan parah kini mulus kembali. Jace mengangkat badan, mengernyit karena rasa tenang dan terbebas dar sakit.

Heinrich memiliki luka jahitan di bahunya, tapi tak ada perban yang membungkus itu. Ia memakan apel, tersenyum pada Jace yang memandangnya penuh kekesalan.

Kejadian penikaman itu berputar di kepalanya, begitu mulus dan bukannya seperti kaset rusak. Sebelum ini, dia tak pernah menikam siapapun. Hal itu sama sekali tak terbayangkan, apalagi terealisasikan. Namun, karena marah, dia melakukan itu. Rasanya seperti menyingkirkan akal sehat dan mendorong nafsu.

"Kau memendamnya dengan baik, Jace. Kau sama sekali tak marah padaku meskipun aku memperlakukanmu demikian buruk, kau menerimanya tanpa mengeluh. Bahkan di saat Emmie Lorenz menyarankan memberimu guru, kau menolaknya. Makasih." Heinrich bangun dari duduknya, bergabung di brankar Jace. Cowok bermata hijau dan merah itu meringsut, menjaga jarak dengan Heinrich. Pikirannya sangat ruwet untuk merespon dengan jelas.

Heinrich memandang langit-langit ruang kesehatan. Bau obat dan alat-alat medis memasuki hidung mereka, bercampur dengan pengharum ruangan. Bau itu tidak memualkan, tapi memang tak terlalu enak dicium. Dari dulu, Heinrich benci rumah sakit. Dia tak mau masuk ke sana, tak peduli seberapa parah luka atau sakitnya. Kepalanya selalu penuh dan pusing saat masuk ke sini, tapi saat ini, dia tak bisa keluar sama sekali.

Dia bisa-bisa saja menyelinap keluar, tapi dia tak mau meninggalkan Jace. Tidak setelah apa yang dilakukannya selama ini.

"Aku adalah orang yang gampang meledak tiap kali emosiku tersulut. Aku emosional, itu benar. Aku berusaha mengontrolnya, melakukan semedi dan tetek bengek yang bisa membuatku tenang. Saat ini itu sudah baikan. Aku tak seemosional saat berumur sebelas tahun, tapi meskipun begitu, kadang aku kelepasam."

"Lantas, aku harus bilang 'wow'?" sembur Jace, masih dengan amarah menggelegak. Dia mengalihkan pandang, menemukan jarum suntik di nakas. Seketika teringat sewaktu kecil yang membenci suntikan vaksin sampai menggerung-gerung seperti macan.

"Bukan itu yang ingin kukatakan padamu, Harrison. Aku adalah orang yang emosional, tapi kau sebaliknya. Kau terlalu tenang, seperti air yang mengalir. Kau sama sekali tak terlihat berbahaya. Apakah kau tahu selama ini aku menilai setiap tindakanmu?"

Gigi Jace bergemelatuk, tak pernah sekalipun dia tak menyadari itu. Dia adalah orang yang sangat peka karena pengaruh lingkungan. Jika ada yang melirik sedikit saja, dia akan sadar. Langkah berikutnya––tentu saja–– bergegas kabur. Dan jika ada yang membicarakannya, itu akan terdengar bermeter-meter jauhnya. Jace akan memilih jalan memutar.

"Kau benar-benar terlalu tenang, kau sama sekali tak mengeluh. Berbeda sekali dengan anak-anak lain yang pernah kuajar. Mereka akan menyerah dalam beberapa hari, tapi kau tidak begitu." Heinrich berhenti sejenak, mengusap luka jahitnya seolah itu bukan apa-apa.

Jace mengamatinya lamat-lamat. Gelegak amarah di perut dan kepalanya agak mereda, tapi dia tetap merasa buruk. Matanya memanas karena memelotot terlalu lama.

"Akhirnya aku menyadari bahwa dirimu seperti ombak. Di awal-awal, kau sangat tenang; tidak memberi ancaman sama sekali. Kau memendam amarahmu, menyimpannya di relung hatimu yang terdalam. Dan saat kau tak bisa menahannya lagi, kau menyemburkannya. Dengan sangat seram. Ombak itu menjadi badai dalam sekejap.

"Aku pun menyadari kepribadianmu. Dalam berbagai hal, kita saling bertentangan. Kau dan aku, adalah dua hal yang tampak susah berteman."

"Tapi pada akhrinya kita berteman, dan aku tak berencana pergi begitu saja." Jace akhirnya tak bisa menahan itu. Hatinya gelisah setiap kali memikirkan berpisah dengan Heinrich, atau tiap kali memikirkan apakah Heinrich akan meninggal.

Mythology Universe (1) : HIRAETHWhere stories live. Discover now