HIRAETH 2 : Silver Drive

70 31 1
                                    

Jace mengetuk pintu rumahnya sebelum masuk. Aroma kue menyapa hidungnya yang mancung, seketika dia menjadi lapar. Sembari tersenyum, dia melesat ke dapur. Tas dilempar ke kamar secara asal-asalan, Jace tak peduli ke mana tas itu akan mendarat. Kakinya yang tak terbalut sepatu menjejak di lantai kayu yang licin, dia harus menjaga langkah kalau tak mau terpeleset dan tampak seperti orang tolol.

Momnya adalah orang yang maniak kebersihan. Rumahnya tak pernah kotor. Barang-barang selalu ditata rapi di tempatnya, dan dapat mengilap kala diterpa cahaya matahari. Pengharum ruangan diletakkan di ruang tamu dan seputaran tangga, menyemburkan aroma kayu manis. Bunga white peacock dan bougenville ditata di jendela ruang keluarga dan balkoni, Lantai selalu digosok setiap hari, menjadikannya mengilap seperti sekarang. Jace berani sumpah jika rumah-rumah tetangganya tak memiliki lantai semengilap rumah ini.

"Mom!"

Chloe menoleh, tersenyum melihat anak laki-lakinya. Tangannya terbalut sarung tangan tebal karena mengangkat kue dari panggangan. Rambutnya yang berwarna gelap dijepit ke atas, beberapa helai dengan nakal keluar dari jepitan dan jatuh ke sisi wajah. Guratan di pipi tirusnya tampak jelas kala dia menyunggingkan senyuman, menunjukkan seberapa tua dirinya.

Jace memeluk Mom sekilas, kemudian mengambil sekaleng soda dari kulkas. Dia kehausan karena belum minum sejak istirahat di sekolah.

"Kau tampak senang," tutur Chloe sembari meletakkan kue pastry ke meja yang masih kotor karena dia belum selesai membuat kue. Jace biasanya akan membantu membersihkan dapur begitu selesai. Karena terbiasa dengan kemaniakan Momnya, dia dapat bersih-bersih dengan waktu yang sangat singkat.

Jace merasakan kerongkongannya mendesis saat soda lewat. Lidahnya lebih dulu kelu, tapi dia menikmati sensasi itu. Jace memperhatikan Chloe yang berbadan kurus, hanya saja itu disembunyikan karena kaus lengan panjang dan celana longgar.

"Teman baru, namanya Lara. Dia tak tahu aku bisa melihat kematian, tapi pasti dia akan tahu cepat atau lambat. Teman-temannya akan memberitahukannya dan aku tak bisa berbuat apa-apa dengan hal itu." Jace berpikir tentang betapa kurus dan lelahnya Chloe. Jadi, dia berniat membuat makan malam nanti setelah membereskan rumah.

Chloe tersenyum pedih, mendengar putranya berbicara tentang teman baru yang akan menjauhinya seolah itu bukan apa-apa. Dia mengusap pipi Jace, yang kini duduk anteng di bangku berkaki tinga. Jace hanya tersenyum, tapi tak mengatakan apa-apa.

Dia sudah terbiasa dengan situasi ini. Namun, dia kini mempertanyakan kebiasaannya.

"Mom, kenapa aku bisa melihat kematian? Kenapa aku ... lain?"

Bohong rasanya kalau dia tak sakit. Jace selalu sendiri, hanya Chloe yang ada di sampingnya. Jace berharap memiliki teman, dia berharap dapat merasakan betapa indahnya masa remaja. Namun, masa remaja pun tak berarti apa-apa. Dia tetap sendiri, dia tetap merasakan kehampaan tak berujung.

Di usianya yang keenam belas ini, dia tak menaruh harapan apa-apa.

"Aku tak bisa menjelaskannya padamu, nak."

"Mom tahu sesuatu 'kan? Tidak bisakah Mom memberitahukannya padaku?" pinta Jace. Dia meletakkan kaleng soda, menatap kue pastry dengan tatapan kosong. Kepalanya tertuduk di meja dengan lesu.

"Kau takkan mengerti jika aku menjelaskannya," ucap Chloe sembari melepas sarung tangan. Dia pergi ke wastafel untuk mencuci tangannya yang kotor, Jace memperhatikan punggungnya dan mengangkat wajah.

"Apa ini ada hubungannya dengan Dad?"

Chloe tak menjawab. Jace mendengus pelan. Dia tak pernah tahu wajah dan sifat Ayahnya sama sekali. Dia hanya tahu namanya, yaitu Stefan. Chloe tak pernah bercerita apapun tentangnya, mau berapa kalipun dia meminta. Sampai akhirnya dia menyerah dan mulai membenci Stefan.

Mythology Universe (1) : HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang