Bergegas aku berlari ke pintu depan. Kriet! Pintunya tidak terkunci. "EL!" Aku berjalan ke luar. Terlihat ada seorang pria paruh baya lewat depan rumah.

"Pak." Aku mengejarnya.

Bapak itu menoleh sembari menghentikan langkah. "Ya?"

"Apa bapak melihat seorang anak perempuan, usianya sekitar 15 tahun?"

"Saya tidak melihatnya."

"Oh, makasih, Pak. Maaf menganggu."

"Adek tinggal di rumah Belanda ini?" tanyanya.

"Iya, Pak. Baru pindah dua hari lalu."

"Hati-hati, Dek."

"Hati-hari kenapa, Pak?"

"Rumahnya angker."

"Oh, saya kira apaan." Kalau masalah itu, aku sudah tau. Dua hari saja kepalaku sudah pusing. Tak terbanyang harus tinggal di sini selama dua bulan.

"Wah, adek sudah tau?"

"Sudah, Pak. Bahkan sudah bertemu sama penghuninya." Aku berpura-pura bersikap santai sambil tersenyum. "Saya lanjut cari adik saya dulu, Pak."

"Oh iya. Semoga cepat ketemu. Coba adek cek di pantai. Siapa tau dia main ke sana."

"Baik, Pak."

Benar juga! Kemarin Ella sempat menyebut pantai. Aku berlari ke arah belakang rumah yang masih terlihat seperti hutan. Melewati jalan setapak di antara pepohonan, menuju pantai.

Setelah berjalan kurang lebih lima menit, suara deburan ombak mulai terdengar. Aku mempercepat langkah, ke luar dari area hutan. Terlihat pantai dengan air berwarna biru dan pasir putih. Pantas saja Ellea ingin pergi ke sini.

Kuedarkan pandangan, terlihat ada seseorang sedang duduk di ayunan, pinggir pantai. Dari jauh terlihat seperti adikku yang cantik. Bergegas aku menghampirinya.

"EL!" Aku memanggilnya.

Ia menoleh, dengan senyuman mengembang. "Pantainya indah, bukan?"

"Iya, tapi lain kali jangan pergi ke sini sendirian."

"Aku pergi berdua kok!"

Jelas-jelas tidak ada orang lain di pantai. "Apa kamu ke sini bersama Kering?" tanyaku.

"Iya, Kak. Tuh dia sedang berlari-lari di pinggir pantai." Ellea menatap ke depan.

Aku duduk di ayunan sebelahnya. "Bukannya dia tidak bisa ke luar dari rumah itu?"

"Semalam aku sudah minta izin untuk mengajaknya bermain ke pantai."

"Minta izin ke kuda itu?"

Ellea tersenyum, "Dia bukan kuda, Kak."

"Suaranya kok seperti kuda?"

"Itu suara kuda yang ditungganginya."

"Oh. Apa dia punya nama?"

"Punya."

"Siapa?"

"Belum waktunya kakak tau."

Argh! Penyakit menyebalkannya kambuh. Selalu main rahasia-rahasian. "Si Kering masih belum selesai main?" tanyaku.

"Belum. Kakak mau pulang?"

"Iya, kakak masih ngantuk."

"Pulang duluan saja."

"Kakak maunya pulang sama kamu."

"Ya sudah. Yuk, pulang!" Ellea berdiri.

"Loh? Si Kering gimana?"

"Nih, udah ada di sebelahku," balasnya, sembari menoleh ke samping.

Kami pun pulang ke rumah.

Saat berjalan melewati hutan. Ellea tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menatap tajam ke satu titik. Pasti ia melihat sesuatu.

"Ada apa, El?" tanyaku.

"Di sini ramai. Yuk, cepat pulang!" Ellea tiba-tiba berlari.

"El, tunggu!" Aku mengejarnya.

Sesampainya di rumah, Ellea langsung masuk ke kamar. "Kamu kenapa lari, El? Tadi kakak hampir kesandung loh," keluhku.

"Kakak kenapa ikut lari?"

"Kebiasaan, jawab dulu pertanyaan kakak."

"Di sana terlalu ramai, Kak."

"Ada apa saja?"

"Macam-macam, Kak. Ada yang lokal, Belanda dan Jepang. Semua berkumpul."

"Kenapa mereka berkumpul di sana?"

"Tidak tau, Kak. Tapi, tadi aku sempat merasakan ada aura yang sangat negatif mendekat. Kering juga merasakan itu, makanya dia langsung lari."

Jangan-jangan aura negatif itu berasal dari sosok yang semalam merintih minta tolong. "Apa dia bisa masuk ke dalam rumah?"

"Seharusnya tidak bisa, Kak. Memang kenapa?"

"Semalam ada sosok yang datang. Awalnya dia menjerit kesakitan, terus merintih minta tolong. Kakak sampai tidak bisa tidur."

"Oh, dia datang lagi."

"Kamu mengenalnya?"

Ellea mengangguk. "Suara dia yang kakak dengar saat malam pertama tinggal di sini."

"Oalah! Pantas saja mirip."

"Dia itu sejenis hantu lokal atau international."

"Hantu Belanda, Kak. Namanya Susanne."

Tumben! Ellea langsung menyebut namanya tanpa aku tanya terlebih dulu. "Namanya lucu. Susanne, seperti bintang film lawas."

"Kakak kebiasaan, suka meledek nama orang."

"Dia bukan orang, El."

"Ya, tapi dulunya kan orang!"

"Habis namanya lucu-lucu. Kering. Susanne. Besok apa lagi?"

"Ya udah, panggil saja dia Susan."

"Sudah gede mau jadi apa?" Aku terkekeh.

"KAK AL!" Ellea mulai kesal.

BERSAMBUNG

ElleaWhere stories live. Discover now