"Daripada membicarakan hal yang tidak penting. Lebih baik kakak ambil makanan di depan."

Daritadi kami memang sedang menunggu pesanan makanan datang. "Belum datang, El."

"Sudah kok."

Tin!

Terdengar suara klakson. Ellea mengangkat kedua alisnya dan tersenyum lebar. Bergegas aku pergi ke luar, mengambil makanan. Siang ini, adikku yang cantik itu akan makan dengan menu favoritnya Capcay Telur Putih. Makanan yang mengingatkanku pada bunda.

"Benar, kan?" Ellea seperti bangga ketika tebakannya benar. Palingan si Kering yang memberitahunya.

"Iya."

Aku pergi ke dapur, mengambil dua piring nasi dan mangkuk untuk menaruh makanan. "Kamu lagi kangen bunda ya, El?" tanyaku. Soalnya sudah beberapa hari terakhir ini ia selalu meminta makanan itu.

"Memang kakak tidak kangen ayah sama bunda?" Ia malah berbalik tanya.

"Kangen juga. Sudah hampir setahun kita tidak ke makam ayah sama bunda." Setelah lima tahun lalu, kami resmi menjadi anak yatim piatu.

Aku masih mengingat momen itu. Momen yang seharusnya menyenangkan. Malah berubah menjadi duka.

Berawal dari rencana liburan keluarga ke pantai. Waktu itu, bunda tidak terlalu setuju dengan rencana itu, karena cuaca sedang tidak bagus — sering hujan. Setelah berdiskusi cukup alot, akhirnya bunda setuju dan kami pun berangkat menuju pantai. Namun, kami tidak pernah sampai ke sana.

Di tengah perjalanan, mobil yang kami tumpangi mengalami kecelakaan parah. Ayah dan Bunda meninggal di tempat. Sementara aku dan Ellea harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.

Ellea sempat koma selama seminggu. Sementara aku harus menerima kenyataan tak bisa menghadiri pemakaman kedua orangtuaku. Bagian terberat dalam hidupku adalah ketika harus memberitahu Ellea kalau ayah dan bunda sudah meninggal.

Namun, ada satu pesan bunda yang paling kuingat. Tepat di malam sebelum kami berangkat liburan. Saat itu kami sedang mengobrol berdua di ruang tengah. Tiba-tiba bunda berkata, "Kalau bunda tidak ada, tolong jaga Ellea," pesannya. Aku pikir itu hanya pesan biasa, tapi ternyata itu adalah pesan terakhir bunda.

"Kak Al, kenapa nangis?" tanya Ellea.

Kebiasaan! Setiap kali mengingat momen itu, aku selalu meneteskan air mata. "Ah, siapa yang nangis?" elakku.

"Itu ada air mata."

"Oh, ini keringat. Soalnya Ayam Rica-ricanya pedas."

"Jangan bohong. Kakak lagi memikirkan bunda, kan?"

"Dari mana kamu tau?"

"Tuhkan! Benar tebakan aku."

"Iya, El. Apa kalau kakak memikirkan bunda, dia bisa datang?"

"Bunda bukan hantu, Kak. Bunda bisa saja datang, tapi melalui mimpi."

"Semoga saja malam ini bunda datang ke mimpi kakak."

"Hati-hati, nanti malah sosok lain yang datang."

"Jangan dong, El!"

"Aku tidak bisa mengatur mereka, Kak. Tapi sudah banyak sosok yang antre ingin berkenalan sama kakak. Siapa tau kakak mau membuat tulisan tentang mereka."

"Kan sudah kakak bilang, cerita tentang rumah sebelumnya saja belum selesai."

"Kakak jangan takut sama si Kuntilanak Merah itu. Dia tidak terlalu kuat."

"Tidak kuat bagaimana? Dia sudah makan banyak korban."

"Korbannya itu orang-orang lemah, Kak. Kalau orang sekuat kakak sih, harusnya tidak terpengaruh dengan kehadirannya."

"Tetap saja, El. Wujudnya itu menyeramkan."

"Ya ... namanya juga hantu."

________

Malam kedua di rumah ini, udara terasa begitu dingin. Padahal sedang tidak hujan. "El." Aku memanggil Ellea yang daritadi tiduran di atas tempat tidurku.

"Yap," sahutnya.

"Kamu ngerasa ada yang aneh, gak?"

"Aneh apanya?"

"Ini udara dingin banget."

"Oh, itu. Makanya kakak jangan duduk di dekat jendela."

Daritadi aku memang sedang menulis cerita di laptop, sembari menghadap jendela. Namun, udara dingin ini baru terasa sekarang. "Tapi tadi tidak sedingin ini, El."

"Mungkin ada yang ...."

"Ada yang apa? Jangan bilang ada yang nempel!" Aku mulai berpikir negatif.

"Apa yang menempel? Cicak?"

"Jangan pura-pura polos. Ada tidak?"

"Tidak ada, Kak," balasnya.

Huh! Aku langsung lega.

"Tapi ada yang datang," imbuhnya.

Seketika napas kembali sesak. "Siapa?"

"Nanti juga kakak tau."

Cepat-cepat aku menutup jendela. "Jangan begitu, El. Lama-lama kakak bisa jantungan."

"Tenang, Kak. Dia itu baik."

"Tolong, El. Kakak mau tidur nyenyak malam ini."

"Serius, Kak. Dia itu baik."

"Memang wujudnya seperti apa?" Aku jadi penasaran.

"Rahasia!" Ellea beranjak dari tempat tidur, kemudian berlari ke luar.

Ah! Sial!

Pasti sebentar lagi makhluk itu datang. Aku mengedarkan pandangan. Tiba-tiba bulu kuduk ini meremang. Hiy! Sontak aku melompat ke tempat tidur, lalu menyembunyikan tubuh di balik selimut.

Hihik! Hihik!

Samar terdengar suara ringkikan kuda. "EL!" Aku berteriak memanggil Ellea.

Kriet!

Pintu kamar terbuka. Lalu terdengar langkah kaki. Sontak aku mengintip dari celah selimut. Tak ada siapa-siapa di sana. "EL!"

Bruk!

Aku merasakan ada yang melompat ke tempat tidur. "ELLEA!" teriakku sekencang mungkin, masih bersembunyi di bawah selimut.

Wus!

Tiba-tiba selimutku ditarik kencang. Terbuka. Aku berteriak saat melihat Ellea sudah ada di hadapan. "EL!" pekikku. Ini kedua kalinya ia mengagetkanku seperti itu.

"Ah, kakak! Lemah! Baru mendengar suaranya saja sudah ketakutan. Padahal dia yang membuat Dahlia dan Hannah tidak bisa masuk ke rumah ini."

BERSAMBUNG

ElleaWhere stories live. Discover now