[ Part 45 ] Hancurnya Genan

Start from the beginning
                                    

Nara membeku saat Genan bersimpuh di bawah kakinya dan menangis. Tangisan itu terdengar begitu menyayat hati. Deretan kalimat permohonan yang diucapkan Genan dengan bibir bergetar seolah menunjukkan seberapa tersiksanya dia dengan rasa penyesalan itu.

"Setelah lo dengan mudahnya nyakitin gue, lo pikir gue juga bisa dengan mudah maafin lo? Enggak, Nan! Hati gue selalu sakit tiap kali inget perbuatan lo sama gue!"

"LO PERNAH MIKIR NGGAK SEDALAM APA LUKA YANG LO BUAT DI HATI GUE!?"

Genan mendongak, membuat air mata itu semakin meluruh deras membasahi pipi tirusnya. "Ta-tampar gue, Key. Pukul gue sepuas lo. Hukum gue," lirihnya.

Plak!

Plak!

Genan semakin menahan sakit di hatinya. Bukan karena tamparan Nara, bahkan tamparan itu tak ada rasanya. Hatinya sakit karena Nara masih tak mampu menamparnya dengan keras setelah apa yang sudah ia perbuat dulu.

Namun tamparan yang tidak terasa itu justru berhasil meremukkan dada Genan. Membuatnya sadar bahwa hati Nara terlalu lembut untuk ia sakiti.

"Tampar gue yang keras, Key. Gue bakal ngelakuin apa pun supaya lo bisa maafin gue," lirihnya sendu.

"Gue mau maafin lo, asalkan lo pergi dari hidup gue setelah ini."

Genan membeku mendengar permintaan Nara. Lelaki itu menggeleng kuat dan meraih tangan Nara meskipun langsung ditepis dengan kasar. "Nggak! Kasih gue kesempatan, Key. A-anak itu butuh seorang ayah, gue juga butuh kalian ...."

Nara terdiam seraya menyeka air mata yang mendadak turun. Beberapa waktu lalu ia berharap pada Tuhan supaya Genan mengingat anaknya, dalam lubuk hatinya Nara tak ingin anaknya hidup tanpa seorang ayah. Tapi di sisi lain ia merasa tak sanggup jika harus kembali pada Genan.

"Lo lupa apa yang pernah lo lakuin sama anak ini, Nan?" tanya Nara dengan bibir bergetar. "Lo nggak pernah mengakuinya, bahkan lo hampir bunuh dia!"

Genan menunduk dalam, membuat air mata penyesalan itu semakin meluruh deras. Dadanya sesak saat kepingan memori perbuatannya pada Nara dulu lagi - lagi memenuhi kepalanya.

Kalau saja waktu bisa diputar kembali, takkan pernah sekalipun ia memberi satu luka pada Nara. Tapi kini hal itu hanya akan menjadi angan semata. Nara sudah terlalu hancur karena dirinya.

"Maaf ... hiks maaf. Kasih gue kesempatan untuk perbaiki semuanya, Key," mohonnya.

"Gue udah pernah kasih kesempatan itu, Nan. Tapi lo malah mempermainkannya. Kesempatan itu sekarang udah habis."

Mendengar itu Genan kembali menatap Nara dengan tatapan sayunya. Berharap wanita itu luluh mau memberi maaf dan kesempatan untuknya. Hatinya sakit saat Nara justru memalingkan wajahnya. Bahkan untuk menatap wajahnya saja Nara merasa muak.

Genan berdiri, lalu memegang kedua bahu Nara dan menatapnya memohon. "Nara ... gue mohon. Hiks gue tersiksa dengan rasa bersalah ini. Kasih gue kesem-"

"PERGI! PERGI DARI HADAPAN GUE, NAN! GUE BENCI LIHAT LO! GUE BENCI!" bentak Nara seraya memukul dada Genan.

Genan menerima setiap pukulan lemah itu. Bukan fisiknya yang sakit, melainkan hatinya. Nara membencinya. Kalimat itu adalah kalimat yang paling ia takutkan.

"Pergi! Hiks pergi! Gue nggak butuh lo, Nan. Gue bisa rawat anak ini tanpa kehadiran lo. Pergi!" raung Nara sembari memukul dan mendorong dada Genan.

Genan menahan tangan Nara yang masih memukulnya. Dengan tangan bergetar dia menghapus air mata yang turun dari sepasang netra Nara. Dulu ia bahagia melihat Nara menderita dan berakhir menitikkan air mata. Tapi kini, satu tetes air yang turun dari mata perempuan itu justru membuat dadanya remuk. Apalagi air mata itu karena dirinya.

Silence Of Tears (TERBIT) Where stories live. Discover now