Duapuluh Enam

157 24 9
                                    

" Kamu tidak perlu melakukan semua ini Mila,"

Ucapan barusan membuat Mila menghentikan tangannya yang sibuk menulis dilembaran berkas dalam map coklat. Dengan pandangan lurus dia menatap sosok berseragam biru dengan tulisan angka dibagian dada yang tengah duduk didepannya.

" Kenapa mas, boleh aku tau alasannya?" tanya Mila menyelidik.

Kevin terdiam, raut wajahnya nampak kebingungan

" Apa ada seseorang yang menekan kamu? sehingga kamu menolak bantuan hukum," lanjut Mila menebak.

Bukan tanpa dasar, Mila sempat bicara dengan Baim yang sedang berada di New York lewat chat. Baim sependapat dengannya kalau Kevin mendapatkan intimidasi hingga memilih bungkam dan menerima semua tuduhan begitu saja. Baim tidak bisa berbuat apa-apa ketika itu, Kevin bersikukuh menghadapi masalahnya seorang diri.

Kevin masih tak bergeming.

" Hukum harus berpihak pada keadilan dan itu mutlak, Jadi kamu tandatangani  disini, sebagai bukti kamu setuju kalau kasus ini akan ditinjau kembali," Mila menyodorkan map coklat tersebut tanpa menunggu jawaban.

Kevin menggeleng, entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang, yang pasti Mila mulai kehilangan kesabaran. Pria didepannya tidak pernah berubah, selalu mengambil keputusan sendiri tanpa memikirkan efeknya.

" Apa karena aku pengacaranya?" tuduh Mila sekenanya. Kalau Kevin terus terusan begitu bukan tidak mungkin dia juga menyerah seperti Baim.

Kevin menghembuskan napasnya kasar. Seperti orang yang sedang terhimpit beban berat, berkali kali pria itu mengusap wajah.

" Kamu tidak mengerti Mila, semua tidak semudah yang kamu pikirkan, dan aku tidak mau melibatkan siapapun dalam masalahku," ucap Kevin.

Mila mendengus, alasan Kevin terlalu klise.

" Tenang saja mas, aku akan bersikap profesional, " lagi-lagi Mila mencoba menelaah perkataan Kevin dengan tuduhan, siapa tau Kevin menganggap masa lalu mereka adalah beban.

" Bukan itu maksudku Mila, tapi kamu tidak tahu siapa yang akan kamu hadapi, dan aku gak mau kamu....," Kevin tidak melanjutkan kalimat, sorot matanya memandang awas dengan keadaan sekeliling membuat Mila melakukan gerakan yang sama.

Tak ada yang mencurigakan, hanya hiruk pikuk pengunjung yang dia dapati dan Mila yakin asumsinya tidak salah, Kevin mendapatkan ancaman. Sudah menjadi rahasia umum kalau berurusan hukum dengan pejabat tinggi, maka masyarakat biasa kebanyakan mengalah pada keadaan.

Menurut informasi yang dia terima Raka adalah anak seorang calon walikota disalah satu wilayah yang akan ikut pemilu tahun ini. Sudah pasti mereka sangat menjaga reputasi kalau tidak ingin tercoret dari daftar pencalonan.

Mila sendiri sadar akan resiko, mengangkat kasus Kevin berarti dia sedang mempertaruhkan karir dan juga keselamatannya. Belum lagi munculnya  pro dan kontra, tapi apapun yang terjadi nanti, Mila siap menghadapi.

" Tanpa kamu jelaskan aku sudah tahu apa yang akan terjadi, kamu jangan mencemaskan apapun, tanda tangani saja berkas ini dan serahkan semuanya padaku, aku tidak menjanjikan kemenangan mas, tapi yakinlah kebenaran akan terungkap dengan sendirinya." Mila mencoba meyakinkan Kevin.

Kevin memandang Mila, dan Mila balik menatap, keduanya larut dalam pikiran masing- masing. Tanpa sadar ada emosi rasa yang terlibat, jemari Kevin menggenggam tangan Mila dan untuk sesaat mereka terbuai hingga suara peringatan petugas akan berakhirnya waktu kunjungan membawa mereka kembali pada realita. Mila menarik tangannya perlahan.

"Cepat tanda tangani mas, kita tidak punya banyak waktu,"

" Tapi, aku gak bisa membiarkan kamu.." tolak Kevin sambil meletakkan map itu kemeja.

Bukan Pangeran Impian (Tamat)Where stories live. Discover now