22. Everything

28 1 0
                                    

Pagi ini, hatiku mulai merasakan begitu kelegaan setelah melepaskan semua kekhawatiran ku. Bibirku mulai merekah bak bunga yang mendapatkan sinar mentari pagi.

Aku melihatnya, kedua netraku yang tidak salah memandang seorang anak laki-laki yang sebelumnya terkapar tidak berdaya dan sekarang sedang duduk diatas sebuah bangsal rumah sakit walaupun dengan berbagai peralatan rumah sakit yang masih terpasang disekitar badannya.

Bintang sudah sadar entah sejak kapan tapi itu bukan suatu hal yang perlu aku tahu sekarang. Langkah kakiku mulai masuk kedalam ruangan dan hal yang pertama kulakukan adalah berlari menghampirinya lalu memeluknya begitu erat.

Kak Jean dan Pak Ezra melihatku. Mereka seperti mencegahku untuk tidak terlalu senang dengan kesehatan Bintang yang sudah pulih kembali namun aku adalah aku. Kepalaku keras memang bagaikan batu hingga tidak perduli dengan perkataan mereka apalagi Kak Jean yang berusaha untuk menarik tanganku melepaskan pelukanku kepada Bintang.

Usaha Kak Jean sia-sia karena sekarang aku tidak berniat untuk melepaskan pelukanku kepada Bintang. Hingga air mataku jatuh untuk kesekian kalinya. Inilah adalah kebahagiaan di pagi hari yang cerah ini.

"Dek-!?" Panggil Kak Jean padaku. Dia tentu saja melarang ku untuk berhenti menempel pada Bintang namun lagi-lagi Pak Ezra membelaku dan memberikan ruang untukku dan juga Bintang.

"Ssstt, kita keluar saja biarkan Chessa menikmati waktunya bersama Bintang." Kata Pak Ezra dari yang aku dengar. Kak Jean menghela nafasnya kemudian dengan rasa yang masih khawatir dia pergi meninggalkanku bersama Bintang berdua di ruangan ini.

Setelah Kak Jean dan Pak Ezra akhirnya pergi keluar dari ruangan, aku segera melepaskan pelukanku kepada Bintang. Aku menatapnya masih dengan air mata yang mengalir begitu deras. Sepertinya hidungku sudah terlihat begitu merah.

"Bintang." Aku mulai menggenggam tangan kanannya dan mengusapnya begitu lembut. Rasanya begitu hangat namun aku masih bisa merasakan ada sesuatu yang membuatku begitu sakit. Entah itu apa aku tidak tau namun sosok Bintang yang menerima rasa sakit itu cukup membuatku merasa bangga karena Bintang mampu melewatinya sendiri.

Aku tersenyum memandangnya, melihat beberapa luka lebam disekitar wajahnya. Bibirnya yang sedikit pucat serta kepala yang masih terbalut perban putih cukup mengiris hati ku.

"Kenapa kamu gak pernah bilang kalo kamu punya rasa sakit kayak gini. Seenggaknya aku bisa berusaha buat lindungi kamu."

"Chessa, kenapa kamu disini? Bukankah seharusnya kamu berangkat ke sekolah? Dimana Kak Astra?" Katanya. Kalimat yang ditanyakan sungguh polos dan lugu. Seseorang yang begitu dekat dengannya yang bahkan sudah menyakitinya bahkan masih saja dikhawatirkan olehnya. Hatinya memang selembut itu.

"Aku gak mau sekolah, aku mau disini nemenin kamu. Dan Kak Astra gak usah dipikirin kan dia udah nyakitin kamu sampai kayak gini. Masa kamu gak inget?" Aku marah, nada bicaraku mulai sedikit meninggi saat aku menjelaskan tentang keadaan Kak Astra. Sungguh menyebutkan namanya saja sekarang aku malas. Aku sudah terlanjur muak dan benci ke manusia yang tak punya hati seperti itu.

"Aku ingat." Ucapnya sembari memegangi kepalanya yang sepertinya terasa begitu sakit.

"Yaudah kalo kamu inget. Mulai sekarang jangan pernah kamu tanya tentang Kak Astra lagi, dia itu udah jahat sama kamu!"

"Jangan! Kak Astra adalah kakak laki-laki ku satu-satunya. Dia adalah keluarga satu-satunya. Selain dia, aku tidak punya siapa-siapa lagi."

"Tapi tetep aja Bintang, Kak Astra itu jahat. Hatinya itu udah busuk tau nggak?! Kamu tuh harusnya benci ke Kak Astra bukan malah nanya dia dimana, keadaannya kayak gimana!" Kataku, jujur saja aku disini sudah mulai emosi dan sedikit lelah berbicara dengan Bintang.

Setelah itu pembicaraan kami berhenti disini. Bintang diam, tangannya sudah lepas dari genggaman tanganku entah sejak kapan mungkin ketika aku marah tadi.

"Bintang?!" Aku memanggilnya dengan nada sedikit lirih karena aku baru menyadari dengan keadaannya yang tidak seperti orang lain pada umumnya. Disini aku jadi merasa bersalah karena sudah bersikap begitu kasar padanya.

"Maaf Bintang, aku gak bermaksud apa-apa. Aku hanya ngerasa kenapa harus kamu yang ngalamin ini semua? Setelah banyak luka yang kamu alamin kenapa kamu harus diam aja dan seolah menganggap hal itu adalah hal yang sangat biasa." Ucapku sembari mengusap lembut kepalanya.

"Sekarang kamu harus tau, kalo kamu adalah segalanya bagi aku. Segalanya, bahkan rasa sakit yang kamu alamin sekarang itu sama saja aku juga bisa merasakannya. Aku janji, aku akan terus ada untuk kamu Bintang. Jadi, untuk kali ini aja yang terakhir kalinya kamu sakit selanjutnya aku akan berusaha buat melindungi kamu." Aku menangis sekali lagi setelah mengatakan beberapa kalimat untuk Bintang agar dia bisa percaya padaku bahwa aku sangat ingin melindunginya dan siap untuk memberikan kebahagiaan.

Segalanya mulai dari sekarang, aku akan mencoba untuk menjadi temannya bahkan lebih dari itu. Alasannya cukup sederhana, aku hanya ingin hidup bersamanya karena aku mencintainya.

Berbicara segala hal, makan, bermain, belajar, mendengarkan musik, memasak dan lain sebagainya. Aku ingin melakukan semua itu bersamanya maka dari itu segala tentang rasa sakitnya aku siap untuk merasakannya juga, tidak perduli bagaimana sesakit apa rasanya walaupun sepertinya aku tidak akan pernah mengerti.

"Aku mohon jangan pernah sakit lagi!" Kataku. Aku mulai memeluknya kembali kali ini begitu erat seperti merasa aku tidak akan pernah mau melepaskannya hingga kapanpun. Tubuh Bintang yang begitu lemah terasa jelas bisa aku rasakan sampai-sampai air mataku kembali jatuh untuk kesekian kalinya.

Bintang hanya diam tidak berkutik saat aku memeluknya kembali. Iya, aku tahu kalau orang yang tidak mengerti dan melihat ini pasti akan mengatai aku bodoh namun aku tidak akan pernah perduli dengan itu semua.

Mungkin dimata mereka Bintang itu anak yang aneh dan berbeda dengan yang lainnya hanya karena sesuatu dari dalam dirinya tapi bagiku itu justru sebuah anugerah yang begitu besar.

Segalanya tentang Bintang mulai dari cara berbicaranya, tatapannya memandang sekitar, reaksinya terhadap hujan dan sikap tenangnya saat mendengarkan musik mampu membuatku jatuh cinta untuk kesekian kalinya.

Bintang, seperti namanya... Cahayanya akan terus menerus menghiasi gelapnya langit di angkasa.

Kuharap Bintang akan selalu menerangi ku layaknya langit yang gelap gulita disinari cahayanya yang begitu indah.

To be continued...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kamu Dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang