[ Part 39 ] Selamat Tinggal

Start from the beginning
                                    

Nara keluar kamar mandi kemudian bersiap untuk pergi. Perempuan itu memakai hoodie dan memasang tudungnya.

Sebelum benar-benar pergi dari kamar yang menjadi saksi biksunya dengan kejadian semalam, Nara melirik ke arah nakas. Lebih tepatnya ke arah foto Genan yang difigura.

Tatapan kebencian ia nyalangkan. Giginya mengerat menahan emosi mengingat perbuatan Genan yang selama ini mempermainkannya. Perasaan kecewa dan benci menumpuk di dadanya, membuatnya terasa sesak. Namun rasa benci itu lebih besar, bahkan untuk melihat wajah Genan ia benar-benar muak.

"Gue udah kasih kesempatan buat lo, Nan. Tapi dengan mudahnya lo menyiakan hal itu. Setelah ini jangan harap lo bisa dapat kesempatan itu lagi."

"Bahkan permintaan maaf lo nggak akan gue terima walau lo sujud di kaki gue dan nangis darah sekalipun," imbuhnya.

•••

"Dokter Afni  ...."

"Ya ampun, Nara. Kok kamu ke sini nggak bilang-bilang, Nak."

Nara tersenyum miris lalu menghampiri wanita berjas putih itu. Ya, Nara memutuskan untuk pergi ke rumah sakit karena merasa bagian perutnya semakin terasa kram dan menyiksa. Bahkan dalam perjalanan Nara sedari tadi menahan sakit pada perutnya, membuatnya semakin takut jika terjadi sesuatu dengan anaknya.

Nara melepas tudung hoodienya, menampakkan wajah kacau nan pucat yang berhasil membuat dokter Afni terkejut.

Kedua mata dokter Afni membola saat melihat wajah Nara. Benar-benar kacau dengan wajah merah dan mata sembab. Juga keringat dingin yang membasahi anak rambutnya.

"Nara ... kenapa, sayang?" tanyanya seraya menyingkirkan helai rambut Nara.

"Sa-kit, a-anak sa—"

Bruk!

Dokter Afni langsung panik saat Nara mendadak pingsan. Dengan cekatan ia memanggil suster dan menidurkan Nara ke brankar.

"Nara, kamu pasti kuat, Nak."

...

Beberapa jam sudah berlalu sejak Nara pingsan tadi. Kedua matanya yang sembab perlahan terbuka, mengerjapkannya beberapa kali guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya.

Jantungnya berdetak lebih cepat, rasa takut kembali menyergapnya saat merasa tubuhnya terasa kosong. Perlahan pandangan Nara menurun pada perutnya. Detik itu juga Nara menutup mulutnya dan terisak. Begitu pula tangisan yang tak bisa ia tahan, dadanya terasa diremat hingga membuatnya sesak.

Perut yang tadi pagi masih membuncit, kini tidak ia lihat.

"ARGHHH!!"

"TUHAN! KAU AMBIL ANAKKU JUGA!? KENAPA!?"

Perempuan itu meraung mengacak dan menjambak rambutnya dengan brutal. Mengusak sprei putih itu, memporak-porandakan nakas hingga hingga barang-barang berjatuhan.

Prang!

"Kembalikan Bundaku! Kembalikan anakku! Kembalikan mereka!"

"ARGHHH!"

Infus yang terpasang di pergelangan tangannya seketika terlepas. Wanita itu meraup wajahnya kasar dan terisak. Sesekali ia juga berteriak keras, mengeluarkan tekanan batin yang menyiksanya. Hatinya sakit. Sangat sakit bahkan untuk menghirup udara rasanya sudah muak.

Silence Of Tears (TERBIT) Where stories live. Discover now