22. Hotel Room.

402 23 5
                                    

***

Davina mengendarai mobilnya menyusuri jalanan. Sementara ia mengemudi, pikirannya berkeliaran kemana-mana. Memikirkan keputusan yang baru saja ia ambil, semua ini supaya Liberty tetap di dalam rumah. Bagaimanapun dirinya hanyalah orang asing yang datang ke dalam hidup gadis itu. Akan terlihat jahat jika dia membiarkan anak itu keluar dari mansion Smith dengan memendam amarah.

Davina menghembuskan nafas keras. Sekarang, kemana ia harus pergi?

"Mungkin aku menginap di hotel saja untuk beberapa hari," gumamnya kalut.

Ketika melihat neon box sebuah hotel, Davina pun membelokkan mobilnya ke sana.

Suasana lobi yang sepi menyambut langkahnya. Tentu saja, ini sudah larut malam. Davina melihat interior lobi di sekitarnya. Kebiasaan yang sulit untuk hilang. Setidaknya dia tahu jika hotel ini memiliki kualitas yang bagus dan cukup mewah.

Seorang laki-laki muda berdiri menyambutnya ketika langkahnya tiba di meja resepsionis. Tersenyum ramah padanya.

"Selamat datang," sapanya dengan senyum formal, "untuk berapa hari?"

Davina tertegun, ia bahkan tidak berpikir akan tinggal berapa hari di hotel ini. Tapi, selagi mencari apartemen, mungkin beberapa hari saja cukup.

"Satu minggu," jawabnya yakin.

Resepsionis itu tersenyum, seraya menginput data. "Singel atau dobel?" tanyanya lagi.

Davina mengangkat bahu, "Singel, aku ingin kamar yang sedikit privasi?" pintanya.

Si resepsionis itu melongo sebentar, lalu mengerjap kembali menatap daftar kamar di komputernya.

"Oh, maaf! Atas nama siapa?" ucapnya tampak gugup.

"Davina Wijaya." jawab Davina agak gemas melihat respon pemuda itu, ia ingin cepat mendapat kunci dan pergi beristirahat di kamar.

"Oh, baik," kata pemuda itu, sebentar ia mencari daftar kamar yang sesuai permintaan Davina.

"Cash atau debit?"

"Debit," Davina menyodorkan kartu debit miliknya, "bisakah kau lebih cepat? Aku, ... lelah!" ujarnya tak sabar.

Pemuda itu sontak tergagap mengiyakan. Setelah melakukan pembayaran, Davina pun mendapatkan kunci kamarnya.

"Ada barang lain yang harus saya bawa?" tawar pemuda itu seraya keluar dari meja resepsionis.

"Tak ada, terimakasih!" pungkas Davina mencoba tetap mengulas senyum singkat sebelum menggeret kopernya menuju lift. Meninggalkan pemuda resepsionis itu terpaku di tempatnya.

Davina kembali menghela nafas keras. Sungguh, ia hanya lelah dan ingin segera tidur. Di dalam lift pun matanya sudah terasa berat dan badannya rindu air hangat.

Sesuai permintaan, kamarnya memang berada di ujung lorong. Suasana lorong yang sepi sedikit menyeramkan, ditambah dengan cahaya temaram dari lampu penerangan yang redup. Cepat-cepat Davina memasukkan kartu akses kamarnya, lalu masuk buru-buru demi mengenyahkan perasaan tidak enak yang terasa menyelubungi tengkuknya. Entah perasaannya saja atau memang ada seseorang yang mengikutinya.

Begitu pintu tertutup, ia mengintip melalui lubang pintu. Dan ia menahan nafas tercekat, saat melihat ada sosok laki-laki yang pergi dari depan pintu kamarnya. Terlihat jelas jika ia diikuti, karena kamarnya ada di ujung. Memangnya orang itu mau kemana lagi?!

Davina luruh di balik pintu, lemas. Terasa sekali kini badannya lelah. Sebentar ia bertahan bersandar di pintu, menenangkan detak jantungnya yang sempat terpacu ketakutan. Setelah merasa tenang, ia pun bangkit berdiri. Membawa kopernya turut serta memasuki ruangan.

Being Your MamaWhere stories live. Discover now