5. Temptation.

541 38 0
                                    

***

Davina bersiap untuk pergi. Dia akan melakukan wawancara kerja di sebuah perusahaan. Meski sebenarnya Greg melarangnya untuk bekerja.

Greg memperhatikan Davina yang tengah merias wajahnya. Tepatnya hanya bedak tipis dan lipbalm saja. Selebihnya mungkin hanyalah pakaian yang dipakainya, yang terlihat sederhana namun berasal dari brand ternama dunia.

"Apa kau mau berdiri saja disitu?" ujar Davina melihat Greg hanya berdiri  bersandar di ambang pintu melihat dirinya bersiap.

Greg tertawa kecil, lalu melangkah memasuki kamar. Menyentuh pinggang Davina yang tengah mengikat rambutnya.

"Apa kau harus bekerja? Aku masih mampu membelikan barang-barang mewah setiap hari jika kau memintanya," kata Greg menatap Davina di cermin.

Davina yang tengah menggigit tali ikat rambutnya, menahan senyum mendengarnya. Setelah selesai mengikat rambutnya, ia lalu berbalik menghadap pada Greg. Mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu.

"Kau bukan sugar daddy-ku, Sayang. Kau itu tunanganku!" gelak Davina tersenyum.

Greg menarik sudut bibirnya sebentar, "aku tidak keberatan!" ujarnya.

Davina tertawa. Lalu mengangkat tumitnya, untuk mencium kening Greg. Pria itu tersenyum hangat seraya menundukkan kepalanya. Terpejam sebentar saat Davina mencium keningnya.

"Baiklah, kau adalah, tunangan dan mesin atm-ku. Senang, Tuan Smith?" kata Davina geli.

Greg terkekeh lalu mengangguk.
"Itu lebih baik, terdengar seperti Davina-ku!" celetuknya. Membuat Davina sontak tertawa lagi karenanya.

"Baiklah, aku harus pergi, Sayang," kata Davina melepaskan tangan Greg dari pinggangnya, "sampai jumpa nanti sore!" lanjutnya seraya meraih tas kecilnya.

"Apa kau mau diantar sopir?" kata Greg menawarkan diri.

"Aku sudah memesan taksi."

"Kau bisa membawa mobilku!"

Davina merapatkan bibirnya menahan senyum geli, "Karyawan mana yang memakai Audi untuk bekerja, Greg?!" tukasnya gemas.

Greg mengerjap, "kau itu karyawan utamaku!" ujarnya enteng.

Davina memutar bola matanya, bicara dengan Greg tidak akan ada habisnya. Pria itu memang tidak setuju jika Davina bekerja. Namun bukan berarti ia tak mengijinkan.

"Aku pergi," kata Davina sekali lagi mencium pipi Greg. Lalu segera melangkah pergi keluar dari kamar. Meninggalkan Greg yang termangu menatap ke arah pintu.

Greg menghela nafas panjang.
"Jelas dia akan berdiri paling depan menentang budaya patriarki!" gumamnya, setengah menggerutu.

***

Davina memasuki lobi sebuah perusahaan properti. Dia melamar sebagai desainer disana. Berbekal ijazah sakti dari Parson School of Art, sepertinya itu tidak akan terlalu sulit.

Begitu masuk di ruang tunggu, Davina mengangkat alisnya. Melihat jajaran para pelamar kerja yang sudah duduk menunggu giliran wawancara. Dibanding mereka semua, dan para perempuan muda yang melamar, penampilan Davina lebih terlihat sederhana. Hanya mengenakan rok sepan selutut dan blouse putih dengan aksen tali di depan. Rambutnya pun hanya diikat begitu saja dengan gaya ponytail.

Davina mengambil tempat duduk di kursi terakhir. Sebenarnya CV-nya sendiri sudah dikirim melalui email perusahaan, dan sepertinya wawancara ini hanya sebagai tahap akhir untuk mereka yang dianggap sebagai kandidat paling potensial.

Saat itu, ada rombongan orang-orang melewati mereka. Tampaknya mereka adalah staff direksi karena terlihat ada dua orang pengawal di belakang seorang pria berpakaian mahal di antara mereka. Mungkin dia memiliki posisi penting di perusahaan itu, pikir Davina.

Being Your MamaWhere stories live. Discover now