The Doll 16

383 89 16
                                    

Happy reading






Dari kejauhan, Harsya melihat sebuah cahaya kecil. Langkahnya perlahan-lahan menghampiri, sampai matanya melihat dengan jelas lilin yang berjajar ke belakang yang seolah membuat jalan. Dengan keberanian yang Harsya punya, dia melangkah lebih dalam lagi. Flash ponselnya dia matikan, kerena ruangan sudah cukup terang dengan lilin yang berada di lorong itu.

Langkahnya terhenti di cahaya lilin terakhir. Tidak ada lagi penerangan di depannya. Lantas dia kembali mengambil ponselnya dan menyalakan senter. Selangkah, dua langkah dia masih merasa tidak ada yang aneh. Sampai ada suara geraman di kegelapan yang tidak tersentuh cahaya dari ponselnya.

"Siapa di sana?" tanya Harsya sedikit lantang. Tungkainya kembali menapak. Rasa takut mulai mengerubungi saat suara geraman semakin besar. Dari tempat Harsya berdiri, dia bisa melihat beberapa helaian rambut. Dia arahkan senter ponselnya dari bawah ke atas secara perlahan. Sampai akhirnya Harsya berteriak saat melihat wajah yang sudah hancur tak terbentuk, hanya warna merah dan luka yang memenuhi wajah itu. Dengan cekatan, dia segera berlari berbalik arah.

Wanita yang baru saja Harsya lihat itu tertawa melengking, kuku panjangnya mengarah ke depan seperti siap untuk menerkam siapa saja. Baju yang lusuh dan penuh tanah, serta bau busuk dari kulit tubuhnya yang penuh luka dan di huni belatung.

Harsya berlari kencang. Lilin yang ia lewati padam satu persatu saat hantu itu melewatinya, membuat ruangan yang semula terang menjadi gelap. Harsya merasa lega saat melihat ujung lorong yang bercahaya, menandakan pintu  pertama dia masuk. Ia menambah kecepatan larinya saat melihat Sano dan Tian.

Brukk

Pemuda itu menabrak kedua temannya.

"Lo kenapa? Kok panik gitu, terus Ghava mana?" tanya Tian yang memegang pundak Harsya.

"Ghava, dia di dalam. Kita mencar buat cari tau lorong ini," ujar Harsya dengan panik. "Udah, mending kita keluar dulu, ada hantu besar ngejar di belakang."

Sano dan Tian juga mendengar suara geraman dari lorong gelap di belakang Harsya, dengan cepat pemuda itu menarik tangan kedua temannya untuk keluar dari ruangan itu. Saat Si Hantu sudah mulai tampak, Sano segera menutup pintu. Tian dan Harsya membantu Sano menahan pintunya dengan buffet.

Dak dak dak

Tidak berhenti, mereka bertiga menempelkan punggung mereka pada buffet untuk menambah pertahanan.

"Ini kak Ghava bagaimana?" tanya Sano menatap keduanya yang lebih tua dengan panik.

"Tunggu sampai dia pergi, gue gak tau kenapa bisa ada hantu kayak gitu," jawab Tian.

Setelah dirasa tidak ada suara lagi, dengan perlahan mereka menggeser buffet . Telinga Tian ditempelkan ke pintu untuk memastikan jika hantu seram yang mengejar mereka itu sudah pergi.

"Bagaimana aman?" tanya Sano berbisik. Tian menjawab dengan jari telunjuk dan ibu jari yang disatukan.

"Ini kita masuk lagi?" tanya Harsya ragu. Dia sudah trauma dengan hantu tadi. Hantu itu mengejar seakan Harsya adalah santapannya.

"Kalau kita gak masuk, terus Ghava gimana?" tanya Tian.

"Kenapa gak coba telpon aja, dia bawa hape," saran Harsya sambil mengangkat hapenya.

"Gue udah coba tadi, tapi gak tersambung. Kayaknya di dalam gak ada sinyal." Sano menimpali.

"Oke lah kalau gitu, eh tapi Nata sama Rania mana?" tanya Harsya menatap kedua temannya bergantian.





















































"Kenapa kita gak bawa dia ke rumah sakit?" Rania bertanya sambil mengguncang lengan Jaya. Rania sedih, kenapa tadi dia bisa teledor. Seharusnya dia lebih waspadai dan lebih menjaga Nata. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi, hantu bergigi tajam sudah membawa Nata tanpa sepengetahuan Rania.

Sano lah yang tadinya mempunyai ide untuk menghubungi kedua temannya, bagaimana pun juga, mereka semua teman. Mau ditutup sebaik apapun, tetap saja rahasia ini akan terbongkar, jadi sekalian saja dia memberitahu kedua temannya. Sano menyuruh Jaya dan Juna untuk membawa Rania dan Jenazah Nata ke rumah Harsya. Sano juga meminta tolong kedua temannya untuk mengamankan mereka di ruang bawah tanah, bersama Hana juga.

Tian dan Sano sudah menduga, jika Jaya dan Juna akan marah dan melontarkan banyak pertanyaan. Tapi itu bisa dijawab nanti, yang terpenting sekarang adalah nyawa Rania dan Hana.

Jaya diam, dia tidak menjawab pertanyaan Rania. Juna yang ada di sebelahnya hanya bisa termenung, mencoba untuk menyadarkan dirinya dari mimpi buruk yang terasa nyata ini.

"Jay, ayo ke rumah sakit. Kamu gak liat ini Nata luka." Rania meraung, tangannya masih mengguncang lengan Jaya.

Tidak diam, Rania beralih pada Juna. "Juna, ayo kita ke rumah sakit."

"Kamu bantu aku bujuk Jaya dong!" Rania berteriak dan menarik-narik baju Juna.

"Kalian berdua kenapa sih? Kalian mau bawa kita kemana? Ini bukan jalan ke rumah sakit Jay!" Rania terus membentak dua pemuda yang ada di kursi depan.

"Kalian mau Nata mati?!"

"Dia emang udah mati Rania!" Akhirnya Jaya bersuara dengan intonasi yang sama seperti Rania.

"Kamu ngomong apa sih? Dia cuma luka, dia belum mati Jaya." Rania berujar dengan suara bergetar. Air matanya terus mengalir, membasahi wajahnya yang berantakan.

"Udah kak Ran, kak Nata emang udah gak ada. Kakak liat sendiri bagaimana di jatuh dari lampu gantung tadi kan?" Juna ikut bicara, dia mencoba untuk membuat Rania sadar dengan kenyataan.

Rania bergeming, kepala Nata yang ada di pangkuannya membuat dress yang Rania pakai menjadi merah pekat. Tubuhnya sedikit membungkuk untuk memeluk Nata. "Nata, aku minta maaf, aku minta maaf. Semua ini salah aku, Nata aku mohon bangun Nat."

"Kamu tega sama kak Harsya? Kamu tega ninggalin dia? Terus bagaimana sama anak kalian? Dia belum ketemu sama kita semua Nata. Aku mohon bangun." Semua yang Rania katakan, diiringi dengan tangis pilu.















































Harsya terduduk lemas, tangisannya pecah saat mengetahui fakta bahwa istrinya sudah meninggal. Rencana tumbal itu berhasil karena mereka tidak fokus menjaga Nata.

"KALIAN INI BAGAIMANA? KATANYA MAU MENYELAMATKAN ISTRIKU. TAPI KENAPA DIA DIAMBIL? BISA DIANDALKAN TIDAK SIH?"

Tian dan Sano hanya menunduk. Ya, mereka gagal menyelamatkan Nata dan bayi yang dikandungnya. Mereka merasa tidak berguna.

Harsya mengusap wajahnya kasar, ia frustasi. Harsya sudah tidak punya penyemangat hidup lagi, anak dan istrinya pergi. Dia sebagai suami juga gagal menjaga istri dan calon anaknya.

"Maaf, kami terlalu fokus melawan Teivel," ujar Sano berjongkok dan menepuk pundak Harsya.

Harsya meraung-raung menyebut nama Nata. Darah Nata yang masih tersisa ia usap dengan tangannya, memandang kedua tangannya dengan nanar.

"Sya, Nata gue amankan di rumah lo, bareng sama adek lo. Setelah ini semua selesai, kita makamkan bareng ya." Tian ikut berjongkok di sebelah Harsya.

Harsya menggeleng. "Gak, dia belum mati." Harsya menatap Tian dengan tajam. "Gue. Harus. Bunuh. Orang. Itu."

Harsya berdiri dan menerobos masuk ke dalam ruangan berlorong tadi, namun langkahnya terhenti saat ia membuka pintu dan tubuh Ghava terjatuh tepat di hadapannya. Separuh tubuh lelaki terjatuh dengan organ tubuhnya yang berserakan.

The Doll ✓Where stories live. Discover now