The Doll 9

449 106 39
                                    

Happy reading





Rania menghampiri Raka yang sedang menonton televisi, anak laki-laki itu tampak senang melihat spons kuning dan bintang laut merah muda yang sedang tertawa. Diusap kepala Raka dan duduk di sebelahnya.

"Kak Jake mana?"

Raka menggeleng dengan pandangan tetap mengarah ke televisi. "Gak tau, tadi katanya mau keluar sebentar."

Raka yang hendak memasukkan sepotong snack ke dalam mulutnya terhenti, karena teringat sesuatu.

"Kak Ran."

"Iya Raka?"

Raka mengerjapkan matanya beberapa kali, bingung akan sesuatu yang ada dalam pikirannya.

"Raka mau bilang apa?"

Raka memandang ke arah Rania.
"Raka tadi lihat ada perempuan di pojok ruangan, terus dia ngikutin kak Jake pergi. Itu, temen kakak?"

Rania menanggapi dengan senyum kikuk, dia tahu apa yang dimaksud Raka, anak berusia 7 tahun yang katanya punya pengelihatan.

"Terus kak, tadi juga waktu Raka gandengan sama kak Jake, tangannya kayak tangan kakek-kakek."

Alis Rania menukik, apa maksudnya? Seingat Rania tadi Jake biasa-biasa saja, ya seperti Jake pada keseharian.

Rania tertawa kecil." Mungkin perasaan Raka aja, tadi kak Rania lihat tangan kak Jake gakpapa kok, normal. Oh iya, Raka mau es krim? Kak Rania ada banyak di kulkas, mau?"

Seketika Raka mengangguk antusias, dan terus berkata 'mau'. Rania menghela napas lega, dia bersyukur Raka bisa teralihkan, Rania tidak tahu harus merespon seperti apa tentang hal-hal seperti itu, dia tidak memiliki kelebihan khusus. Biar nanti saja dia tanyakan kepada Sano.











































"Halo Ma."

"Iya nak?"

"Aku ada firasat buruk, apa benar ada orang yang tau tentang tumbal ini?"

Terdengar dari seberang telpon, wanita itu tertawa. "Iya, tapi kamu jangan khawatir, tumbal akan dimajukan."

"Bagus, aku juga udah gak tahan sama kulit ku yang mulai sedikit keriput."

"Kamu jangan berbuat hal yang mencurigakan. Sebisa mungkin, tutupi bagian yang mengeriput itu sementara."

"Iya ma, kalau gitu aku tutup dulu."

Lantas dia pergi dengan langkah mengendap-endap.


































Seperti yang Harsya katakan, bahwa dia akan pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan. Pagi-pagi sekali Nata sibuk mengemas pakaian yang akan suaminya bawa ke dalam koper. Setelah semuanya beres Harsya membawa kopernya ke depan pintu rumah.

"Jaga diri baik-baik ya, mungkin aku akan pulang dua hari lagi, kalau kamu kesepian, kamu bisa pergi ke rumah Rania atau Mama."

"Iya kak, kamu hati-hati ya kak."

Harsya mengangguk, dia membawa istrinya ke dalam pelukannya. Diusap rambut Nata dengan lembut, tak lupa ciuman di kening sang istri.

"Aku pergi dulu." Harsya membungkuk, menyamakan tingginya dengan perut istrinya. "Kamu jaga bunda ya, jangan nakal sama bunda."

Nata terkekeh dan mengusap kepala Harsya. "Siap ayah."

Harsya berjalan ke arah mobilnya dan mengendarai mobil keluar dari pelataran rumah, sebelum mobil Harsya menghilang dari pandangan, Nata melambaikan tangannya dan mengusap air matanya yang menetes ke pipi putihnya.

Ditutupnya pintu rumah. Nata berjalan ke arah kamarnya, namun saat dia hendak membuka pintu kamar, samar-samar Nata mendengar suara bisikan.

"Ayo main Nata, ayo main."

Nata yang berulang kali mendengar suara bisikan itu merasa risih, karena tidak ada seorang pun di rumah, kecuali dirinya sendiri. Nata segera masuk ke dalam kamar dan memilih untuk menghiraukan suara bisikan itu.

Semakin dia biarkan, suara itu semakin dekat, seakan suara itu berbisik tepat di telinganya.

"Siapa itu?"

"Ayo main Nata, ayo main."

"Keluar!"

Nata berputar-putar mencari asal suara tersebut, namun tidak ia temukan. Sampai suara itu berhenti dengan sendirinya. Tetapi, itu tidak berlangsung lama, seketika Nata menutup kedua telinganya rapat-rapat saat sebuah dengung yang amat keras menginterupsi indra pendengarannya.

"Hentikan tolong hentikan!"

"Saya mohon hentikan!"

Telinganya terasa sakit, Nata tidak bisa menahannya terlalu lama, dia segera keluar dari kamar dengan langkah yang berat, entah kenapa dia merasa ada yang memegangi kakinya.
Tidak tahu saja Nata jika boneka yang dia panggil Teivel itulah yang berpegangan pada kakinya.

Beruntung suara itu tidak lagi mengganggu pendengaran Nata, bisa-bisa dirinya tuli jika terus berada di kamar. Saat Nata hendak melangkah ke dapur, ada angin yang berhembus dari jendela dengan cukup kencang, sampai rambutnya yang terurai terangkat.

Matanya menyipit saat ada debu yang ikut terbawa olah angin, dia segera mengalihkan pandangan ke arah lain, namun bukannya membaik, dia malah menemukan sebuah tulisan dengan darah di kaca etalase.

"Kenapa tidak mau main?"

Apa ini? Siapa yang menulis itu? Nata tidak tahu, dia takut. Kepalanya menggeleng tidak percaya, dia segera berjalan ke arah pintu untuk meminta bantuan tetangga. Kakinya yang masih terasa berat, dengan susah payah dia geret. Mana anginnya tidak mau berhenti.

Saat Nata membuka pintu, ada sebuah kertas yang terbang ke arah wajahnya. Nata terkejut, dia segera mengambil kertas tersebut dan melihatnya.

"Apa ini? Oh ayolah, di pagi hari kenapa aku tidak bisa tenang?"

Air matanya menetes, dia takut, apalagi suaminya tidak ada di rumah.
Setelah membaca kertas itu, dia jadi teringat dengan isi surat yang Sano berikan padanya.

"Jangan main, atau waktumu akan berjalan lebih cepat, ingat yang pertama!"

Nata sadar ini bukan hal biasa, surat pemberian Sano pasti ada maksudnya dan berhubungan dengan ini.

"Nata!"

Perempuan itu segera melihat ke arah depan, di sana ada Ghava yang berlari menghampirinya.

"Lo gakpapa kan Ta?"

Nata yang masih syok hanya mengangguk, entahlah dia pusing memikirkan kejadian tadi dan kertas aneh ini. Ghava yang melihat Nata diam, kini mengalihkan pandangan ke arah kertas yang Nata pegang, dia bersyukur Nata membaca kertas itu dan dia juga senang karena datang tepat waktu.

"Lo sendiri kan? Ayo ikut gue ke rumah."

"Tapi Ghav..."

Ghava tersenyum. " Nanti gue bilang kak Harsya." Ghava menunduk mendekat ke telinga Nata, pandangannya melihat ke sekeliling.
"Di sini gak aman, ada yang ngincar lo Ta."

Nata membulatkan matanya, dia tidak paham lagi dengan situasi ini. Lebih baik dia ikut dengan Ghava, daripada diam di rumah dan mengalami kejadian luar nalar.


















































"Sementara ini Nata aman di rumah Ghava, di sana udah gue kasih jimat."

Sano tersenyum pada kakaknya.
"Terima kasih kak, doa kan Sano ya, semoga ini berhasil."

"Iya pasti, dan untuk masalah si pelaku, kakak paham alasan lo buat gak kasih tau temen-temen lo. Kakak bakal bantu lo, sampai waktunya dia tau bahwa pelaku dari semua ini adalah suaminya sendiri."

The Doll ✓Where stories live. Discover now