bagian sembilan

Magsimula sa umpisa
                                    

"Baru saja semalaman kita bersama sampai pagi, lalu kemudian saling canggung. Gosh! Jujur saja aku benci suasana itu."

Gagasan yang sangat Jiyeon setujui.

"Kau pikir aku tidak membencinya?" Jiyeon membuka lemari pakaiannya, mengambil satu set pakaian baru sederhana yang akan ia kenakan. Lantas ia berujar lagi setelah membasahi bibirnya yang kering, "Shin, aku ... aku benar-benar minta ma—"

"Lupakan, Sayang. Aku yang salah karena minta yang aneh-aneh saat kita sedang asik bercengkrama." Helaan napas pria itu masuk ke pendengaran Jiyeon yang membeku di posisinya. Pun Jungkook menambahkan, "Seharusnya aku yang minta maaf. Maafkan aku, Ji."

Kedua manik cokelat terangnya saling terpejam dengan satu tangannya yang semakin erat mencengkram pakaian yang masih dalam genggaman.

Sifat Jungkook yang selalu mengalah kendati ia adalah pihak yang paling bersalah karena sudah membohongi sang kekasih, membuat hati Jiyeon dilanda perih. Ia menggigit bibirnya tanpa memberikan balasan lagi. Sebab, Jiyeon seakan kehilangan aksara untuk menanggapi frasanya.

Ia takut gelagapan tatkala akan merespons, karena Jiyeon tidak bisa berlama-lama sembunyi dari realitas yang sudah menimpanya. Seperti bencana, yang bahkan ingatan Jiyeon hanya berfokus ke arah sana karena insiden itu terjadi diluar keinginannya.

"Hei? Kau masih disana, 'kan?"

Panggilan itu menyentaknya, Jiyeon lantas mengedip cepat dan menggelengkan kepala demi menepis bayangan buruk yang baru saja melintas dalam benak.

"Ya? Ah, okay." Perempuan itu kehilangan kata, ia meringis kecil seraya melangkah ke arah kasur dan duduk di tepiannya. Meraih ponsel yang semula tergeletak disana, pun menukas pelan, "Intinya aku minta maaf. Tidak peduli siapapun yang salah disini, aku hanya ingin menyampaikan permohonan maaf ku."

"Kenapa—"

"Katakan saja, kau memaafkanku atau tidak?" sela Jiyeon cepat. Tutur kalimatnya kelewat ambigu, sebab perempuan itu tengah menyampaikan rasa bersalahnya karena sudah—

Ah, sial! Mau disesalkan sampai kapanpun, kehormatan Jiyeon tidak akan pernah kembali.

"Fine, Sayang. Aku memaafkan mu walaupun aku tidak paham maksudnya. Jika kau meminta maaf untuk kejadian tadi malam, aku sudah bilang kalau itu murni kesalahanku sendiri."

Bibirnya membingkai senyum asimetris, lantas Jiyeon mengangguk mengerti. "Terima kasih."

Senyap lagi-lagi hadir disela obrolan mereka. Jiyeon yang merangkai kata, dan Jungkook yang bingung akan berungkap apa adalah penyebabnya.

Beberapa kali Jiyeon kedapatan menggigit bibir bawahnya resah sambil menggulirkan iris untuk menjelajahi seisi ruangan kamar. Lalu, ia pun memutuskan untuk segera mengenakan pakaiannya tanpa memutuskan sambungan telepon dengan Jungkook.

"Omong-omong, apa kegiatanmu hari ini?" Adalah Jungkook yang memecah keheningan. Pria itu baru saja selesai memeriksa dokumen kegiatan harian pegawai kantornya.

"Tidak ada," kilah Jiyeon di depan cermin. Ia memperhatikan refleksi dirinya di depan sana seraya menyisir helai demi helai surainya dengan jemari. "Aku mungkin akan tidur seharian penuh di dalam kamar."

"Mereka belum kembali?"

"Tadi aku lihat Ibu sarapan sendirian. Kami sempat bersapa dan dia juga menanyaiku kemana tadi malam. Hm, tumben sekali."

"Bagaimana dengan Ayahmu?"

Jiyeon menarik napas panjang, respirasinya berubah sesak saat mengetahui fakta baru yang diberitahukan Seulhee lewat pesan pagi-pagi buta.

ᴇʟᴇᴜᴛʜᴇʀᴏᴍᴀɴɪᴀ [M] ✓Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon