bagian dua belas

865 136 57
                                    

"Bisakah kita bertemu?"

Taehyung senang bukan kepalang. Wajahnya termangu untuk sesaat usai mendengar nada lembut Jiyeon di seberang. Menari-nari di pendengaran, dan membuat buncahan kesenangan itu melejit, meletup-letup dalam dadanya hingga ia nyaris terpekik jika tidak mengulum bibir.

"Taehyung?" panggil Jiyeon sekali lagi.

Pemuda Choi itu menenangkan diri dengan menarik napas kelewat dalam. Matanya terpejam, meresapi setiap oksigen yang masuk memenuhi paru-paru.

Lantas, kemudian ia mengangguk dan menyahut, "Tentu. Kita bisa bertemu kapan saja." Ada aksen senang yang terselip disana, dan Taehyung berharap Jiyeon tidak menangkapnya.

Helaan napas kecil yang berhembus memasuki indera pendengaran, dan Jiyeon membalas, "Aku akan kirimkan alamatnya nanti lewat pesan. Aku berharap kau bisa datang malam nanti."

"Malam nanti? Maksudmu, malam ini?" tanya Taehyung memastikan. Ia tidak bisa duduk tenang.

"Benar. Aku harap kau bisa—"

"Tentu saja, Sayang. Aku yakin kau pasti meminta pertanggungjawaban, 'kan?" terka Taehyung asal. Bibirnya menggurat senyum kotak seperti biasa. "Biar kutebak, kau hamil? Itu berita yang sangat menggembirakan karena aku sudah muak dengan perjodohan yang Ayah ku buat. Dia masih menerapkan sistem yang agak kolot soalnya."

Sementara itu, Jiyeon memucat usai mendengar frasa Taehyung yang diungkapkannya secara gamblang. Benar-benar serampangan sekali—dan teramat bersikukuh mengasakan Jiyeon hamil—seperti kepribadiannya kali mereka pertama bertemu.

Jiyeon memejamkan mata, menggerutu dalam hati. Sebab, ia tidak sendirian melainkan bersama Jungkook yang setia menemani dan menuntunnya menciptakan skenario yang sedang terjadi saat ini. Seperti komando, dan Jiyeon adalah prajurit yang siap mematuhi titahan mutlak penuh ultimatum sang kekasih.

Dengan tangan terkepal, manik yang melirik takut-takut ke arah Jungkook dan rahangnya yang mengeras, Jiyeon berujar, "Sudah kubilang, aku tidak mungkin hamil. Apalagi itu anak darimu," desisnya pelan.

Lalu tangannya bergerak lambat menggenggam tangan kanan kekasihnya yang dipenuhi tatto. Jiyeon memberi usapan lembut disana agar Jungkook tetap dalam perannya dan tidak membuat rusak rencana yang pria itu ciptakan.

"Aku pasti akan mematahkan giginya nanti saat bertemu," pria Shin itu bergumam penuh kilatan amarah. Membelenggu Jiyeon dengan iris jelaganya. "Dan kau akan mengandung anakku. Aku pastikan itu."

Jiyeon sebenarnya tidak pernah mengalami situasi yang kelewat mencekam ini. Itu sebabnya ia tidak terbiasa. Hawa dingin menusuk epidermisnya lantaran Jungkook nyaris tidak berkedip sama sekali kala menatapnya. Ini bisa saja membunuhnya perlahan-lahan.

Pun Jiyeon cukup tau diri untuk tidak banyak menuangkan komentar sebab ia adalah dalang dari segalanya.

Perempuan itu lantas kembali fokus pada percakapannya dengan pemuda Choi lewat ponsel yang masih bertahan di depan telinga.

"Taehyung, lebih baik kita tutup saja, ya. Kau sudah pasti datang, 'kan?"

"Tentu saja. Pasti, Sayang. Aku akan datang lebih cepat sepuluh menit darimu nanti."

Jiyeon memberikan garis senyum yang rumit sebagai sahutan, ia kemudian mengangguk. "Baiklah," mendengus pelan, ia menyeru lagi, "Sampai ketemu nanti."

Lekas Jiyeon menutup panggilan dengan ekspresi kaku miliknya. Ada senyap sekitar lima detik sebelum akhirnya ia mengarahkan pandangannya untuk menjumpai Jungkook.

"Apa dia membuangnya di dalam?"

"Shin—"

"Jawab saja pertanyaan ku!" desak Jungkook tak sabaran.

ᴇʟᴇᴜᴛʜᴇʀᴏᴍᴀɴɪᴀ [M] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang