bagian lima belas

1.2K 141 27
                                    

Masih rame ga, nih?

***

Esensi Jungkook yang memberikannya gelimangan romansa tetapi sekaligus membuatnya nelangsa. Mereka saling tak bersapa kendati rasa rindu luar biasa menyapa daksa. Jungkook yang memantik api lalu berperan menjadi air untuk memadamkannya memang sudah awam terjadi. Tapi untuk frasanya yang lampau, Jiyeon mustahil dengan mudah mengubur ingatannya.

Pagi itu, Jiyeon terbangun dari tidur. Manik cokelat terangnya memancarkan binar seperti biasa tapi uniknya tidak ada kegetiran disana. Tubuhnya hanya diam dibiarkan terlentang dengan pandangan menyorot ke atas pagu kamar yang berpoleskan cat putih tulang.

Hembusan dari napasnya berbaur dengan udara pagi hari yang menyegarkan. Bunyi cicitan para burung terdengar berdengung dan melengking secara bersamaan lantaran mereka akan berpetualang menelusuri hamparan semesta. Sahut-sahutan dari deru mesin mobil karena ia tinggal di pertengahan kota juga tidak luput menyapa.

Erangan kecilnya mengudara sembari meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Tidak ada waktu untuk merenungkan sikap Jungkook yang mendadak mengacuhkannya. Jiyeon harus berusaha untuk apatis pula disaat pria itu juga demikian. Konteksnya bukan Jiyeon yang menjadi biang.

Tiga hari sudah terlewati dengan cepat setelah perdebatan sengit itu lahir. Selama itu, Jiyeon tidak ingin saling sapa dengan kekasihnya pun bertatap muka. Ia berpikir jika Jungkook akan mati-matian berjuang membujuknya, namun semua hanyalah bentuk dari fatamorgana dan ekspektasi yang ia ciptakan dalam kepalanya sendiri.

Realita yang terjadi saat ini begitu bertentangan. Kendati Jiyeon sulit menepis perasaan rindu yang bersarang, tapi tak dapat dipungkiri egonya berkehendak untuk terus bungkam hingga Jungkook yang datang.

Perempuan Son itu lekas duduk di bibir ranjang demi mengembalikan seperempat nyawanya yang belum terkumpul. Lalu ia meraih gelas yang berisikan setengah air putih dan menenggaknya sampai tandas mengaliri kerongkongan yang tandus.

Dirasa peperangan batinnya sudah berakhir, Jiyeon mulai beranjak untuk membersihkan diri. Sembari menggosok gigi Jiyeon lupa memeriksa satu hal yang menjadi rutinitas paginya. Lekas perempuan Son itu masuk ke dalam kamar lagi, dengan tangan lainnya yang bebas Jiyeon memeriksa isi ponselnya.

Setidaknya ada setitik asa yang ia lantunkan. Digosoknya giginya dengan mata yang tidak kendur dari layar ponsel yang menyala. Tidak ada satupun kabar dari sang dominan. Ini sudah kelewat eksentrik dan keterlaluan. Padahal Jungkook adalah pihak yang menyakiti, tetapi kenapa pria itu disini seperti pihak yang merasa disakiti.

Gerakan tangannya yang awal mula cepat menjadi melemah, ia berhenti menggosok gigi dan membiarkan sikat gigi itu bertengger di dalam mulutnya.

Sial. Perasaan ganjal berhasil melesat begitu cepat setelah fakta mengerikan ini terus berlangsung.

Ketukan pintu dari luar membuatnya terperanjat pelan. Jiyeon lantas melemparkan ponselnya ke atas ranjang lalu menoleh pada sumber suara. Mengeluarkan sikat giginya dan membawanya ke dalam genggaman tangan kirinya.

"Ji! Saatnya sarapan!"

Suara berat itu datang dari pangkal tenggorokan ayahnya. Jiyeon hanya membisu, tapi pandangannya tak putus dari permukaan daun pintu kamar yang masih terkatup.

Ia tidak pernah mengunci sekalipun pintu di depan sana, sebab ia sudah melarang keras baik Ayah ataupun Ibunya masuk tanpa seizinnya kendati pintu itu terbuka lebar sekalipun. Perintah Jiyeon adalah mutlak untuk mereka sebab keduanya sadar bahwa sifat keras Jiyeon datang perlahan karena pengaruh lingkungan keluarga mereka yang jauh dari kata harmonis.

ᴇʟᴇᴜᴛʜᴇʀᴏᴍᴀɴɪᴀ [M] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang