bagian lima

5.6K 699 93
                                    

Pemuda Shin itu menunggu lama gadisnya, helaan napas untuk kesekian kalinya berhembus, kemudian ia berdecak dan melirik arloji yang melingkar apik di pergelangan tangan kiri.

Ini bukan hari libur, dan Jungkook terpaksa datang terlambat ke kantor karena menunggu Jiyeon. Sebelum ia bertatap muka dengan gadisnya, Jungkook enggan pergi. Sudah lewat setengah jam Jungkook menanti, dan sepuluh menit yang lalu Jiyeon bilang sudah dalam perjalanan pulang.

Lantas Jungkook mengetuk-ngetuk ujung sepatu pantofelnya dengan sabar, menyandarkan punggung di sandaran sofa teras rumah sang kekasih. Gadis itu pasti memiliki alasan untuk pergi sebab Jungkook bisa membaca hal itu lewat keadaan rumahnya yang sepi. Tentu saja, Jungkook tahu perihal masalah yang tidak pernah surut antara kedua orangtua Jiyeon.

Mereka kerapkali bertengkar, dan hal itu pasti membuat Jiyeon stress, merasa frustasi akan kehidupannya. Namun, Jungkook datang seperti pusaran badai yang menerjangnya dan menyeret Jiyeon pada kebahagiaan. Setidaknya, ia tidak melihat kurva yang tersemat apik di bibir manis itu lenyap.

Jangan. Jangan sampai. Jungkook akan mempertahankan senyuman indahnya.

Terpejamnya mata Jungkook seketika terbuka lantaran ia mendengar deru mesin mobil yang datang. Memutar kepala, Jungkook menemukan Jiyeon yang keluar dari dalam mobil dengan kulit wajahnya yang pucat. Mengundang kerutan di dahinya hadir dengan cepat.

Membawa tungkainya tegak, Jungkook lekas mendekat. Ia baru saja akan memberondongi Jiyeon dengan pertanyaan yang bersarang dalam kepala akan keadaan gadisnya, namun tubuh kecil itu langsung menyambar. Menerkam Jungkook lewat pelukan yang erat hingga ia turut membalas. Merengkuh tubuh mungil itu.

"Apa yang terjadi denganmu, hm?" Kedua tangannya membawa wajah sendu Jiyeon menangkup. Mendadak Jungkook menjadi heran dengan pancaran iris Jiyeon yang meredup. "Kenapa? Ada apa? Kau habis darimana?"

Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu semakin memperparah denyutannya. Hingga Jiyeon memejamkan mata cukup erat, membuang muka sebab tak ingin terintimidasi oleh tatapan kelam Jungkook yang menuntutnya untuk menjawab—membongkar kejadian semalam? Itu sama saja dengan bunuh diri.

"Ji?"

Panggilan itu menyentakkan Jiyeon. Spontan ia menatap Jungkook, mencoba tersenyum—paksa—untuk meyakinkan bahwa entitasnya baik-baik saja. Semoga. Semoga Jungkook tidak menyadari tanda yang pemuda Choi itu ciptakan pada epidermis lehernya. Jangan sampai.

Ah, sial. Bahkan Jiyeon masih bisa merasakan bagaimana papila Taehyung mencecap dan berlabuh di sekujur badannya.

Sial. Sial. Jiyeon harus menjernihkan pikirannya dengan kembali berendam.

"Oh?" Seakan tersadar dengan keberadaan Jungkook sekarang dan jas putih yang pemuda itu pakai, Jiyeon bertanya, "Tidak pergi kantor?"

"Bagaimana bisa?" Intonasi suara Jungkook sedikit naik. Menarik napas pelan dan menghembuskannya cepat, Jungkook berkata, "Aku menunggumu. Aku tidak bisa pergi dengan tenang saat kau tidak ada di rumah," tuturnya seraya meremat bahu sempit si gadis.

Perasaan bersalah menyerang Jiyeon. Perhatian dan afeksi tulus dari Jungkook membuat dadanya dilingkupi kehangatan. Hanya Jungkook satu-satunya presensi yang memahami dirinya. Yang mengerti Jiyeon, ketimbang orangtuanya sendiri—tidak pernah peduli padanya.

ᴇʟᴇᴜᴛʜᴇʀᴏᴍᴀɴɪᴀ [M] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang