[ Part 30 ] Kembali

Start from the beginning
                                    

"Tu-tuhan ...  jangan ambil anakku. A-aku sudah menyayanginya."

Itulah sederet kalimat yang Nara ucapkan sebelum dia tergeletak lemas dengan kegelapan yang perlahan menghampirinya. Nara tak sadarkan diri.

"NARA!"

°°°

Wanita yang terduduk lemas di bangsal itu perlahan membuka matanya. Dia mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Dan setelah kesadarannya perlahan kembali barulah Nara menyadari bahwa sekarang dia berada di rumah sakit. Tunggu, siapa yang membawanya?

"Eh, sudah bangun ternyata." Seorang dokter menghampiri Nara dan membantunya duduk bersandar di bangsal.

"Do-dokter ... siapa yang bawa saya ke sini?" lirihnya.

"Putra saya. Kenzo," ungkap dokter bernama Afni. "Setelah mengantarkan kamu tadi Kenzo langsung pergi karena ada urusan mendadak."

Nara tersenyum tipis. Dia bersyukur atas kedatangan Kenzo yang membawanya ke rumah sakit, kalau tidak, mungkin Nara takkan tahu akan bagaimana nasibnya. Kalau nanti dia bertemu lelaki itu Nara pasti akan berterima kasih padanya.

Sang Dokter memilih duduk di kursi samping bangsal agar bisa berbicara dengan nyaman bersama pasiennya itu. Tanpa diduga oleh Nara, dokter bernama Afni yang merupakan ibu Kenzo itu mengelus rambut panjangnya sayang. Napas Nara tertahan, tiba-tiba dia teringat dengan sang Bunda. Nara mendadak merindukan wanita itu.

"Kamu pasti kuat. Saya yakin," ujar dokter Afni. Afni sudah tahu tentang masalah gadis di hadapannya karena Kenzo sering bercerita padanya tentang Nara. Sebagai sesama perempuan tentu dia mengerti bagaimana perasaan Nara.

"Dokter... anak sa---"

"Dia baik-baik saja," potong dokter itu. Nara bernapas lega. Sungguh dia takut terjadi apa-apa dengan calon buah hatinya.

Dokter Afni mengambil beberapa foto berwarna hitam putih dan menyerahkannya kepada Nara. Nara mau tak mau pun menerimanya dengan kening mengernyit. "Ini ...."

"Itu calon anak kamu, usianya sudah 18 minggu dan jenis kelaminnya laki-laki," jawab sang dokter.

Nara menatap wanita di sebelahnya dengan tatapan tak percaya. Kemudian kembali menatap foto USG yang terlihat tak begitu jelas bentuknya, tapi Nara tahu bahwa itu adalah bayinya. Nara tersenyum haru, hatinya menghangat terbayang suatu saat nanti tangan mungil akan menggenggam jemarinya erat. Saat wajah menggemaskan dan rengekan bayi akan menghiasi hari-harinya. Nara tak sabar menantikan hal itu.

"Mau dengar detak jantungnya?"

Nara mengangguk antusias. Dokter Afni pun menyiapkan alat untuk mendeteksi jantung si janin. Hati Nara berdebar tak sabar untuk mendengarkannya.

"Siap?" Nara mengangguk menanggapi.

Seperkian detik berikutnya suara aneh yang terdengar seperti detak jantung mulai menyapa gendang telinganya. Lama-kelamaan suara itu membuat hati Nara menghangat. Nara mengepalkan tangannya yang berkeringat, matanya terpejam menikmati alunan detak jantung sang anak yang berdetak dengan tempo teratur. Nara juga meminta rekamannya supaya dia bisa mendengarkannya lagi nanti.

"Kenapa kamu tidak pernah check up? Padahal usia kandunganmu sudah lebih dari empat bulan."

Wajah Nara tampak merasa bersalah. Bersalah kepada calon anaknya karena dia tak pernah pergi ke dokter guna memeriksakan kondisinya.

Silence Of Tears (TERBIT) Where stories live. Discover now