📙26. Meninggal

197 10 0
                                    

Wafa mengambil jas hitamnya yang sudah disetrikakan Ifan tadi pagi. Jas tersebut adalah yang akan dipakai Wafa pada saat acara akad nanti. Wafa memakainya dengan menatap dirinya sendiri di cermin kamarnya, ia tersenyum tipis dan mencoba membuka lembaran hidup baru bersama Rara. Wafa tidak ambil pusing,  soal perasaannya sekarang untuk siapa, Wafa yakin setelah menikah ini Wafa bisa mencintai Rara sepenuh hati.

"Mas? Zahira pakai kerudung warna apa enaknya? Zahira binggung nih," gerutu Zahira sambil masuk ke kamar Wafa yang pintunya sedang terbuka itu.

"Pakai kerudung yang sekiranya sesuai dengan syariat dan yang sekiranya kamu nyaman sama kerudung itu," kata Wafa dengan nada pelan sambil memasang kancing jasnya.

"Ihh, Zahira nanya warna, Kak. Warna apa yang cocok sama gamis ini?" tanya Zahira mulai tersulut emosi, Zahira berjalan ke ranjang Wafa dan duduk di sana.

"Mas itu enggak pandai pilih warna, coba tanya sama umi, siapa tau umi bisa milihin," saran Wafa sambil berjalan menghampiri Zahira dan duduk di sampingnya.

"Jangan sampai nanti kalau Kak Rara suruh milihin warna kerudung, kakak jawab enggak tau. Nanti Kak Rara nyesel punya suami yang milih kerudung aja gak bisa,"  celetuk Zahira.

"Kamu bicara apa, sih? Udah sana, tanya sama umi, Zha." Zahira langsung bangkit dari duduknya menghampiri uminya yang sedang berbincang dengan abi di kamar sebelah.

🕊🕊🕊

"Weeeiss, Mbak Rara yang mau nikah bawaannya senyam-senyum aja, nih," kata Nomara sambil duduk di tepi ranjang Rara. Rara memang sudah pulang sekarang, mengingat acara akadnya akan dimulai beberapa menit yang akan datang.

"Apa aja sih kamu ini, Nom," kata Rara dengan nada pelan, Rara memang kini masih berbaring di ranjang, tubuhnya belum sepenuhnya kembali seperti semula. Masih sedikit lemas.

"Mbak Rara enggak persiapan gitu? Make up atau pakai gaun? Kok nyantai?" goda Maira sambil menyentuh gaun yang dipasangkan di manekin sebelah ranjang Rara.

Rara melihat gaun syar'i putih panjangnya itu yang melambai-lambai seakan mengajak Rara untuk segera memakainya. Rara hanya tersenyum kepada Nomara yang antusias padanya.

"Mbak Rara kok tangannya dingin banget, sih? Pasti deg-degan hebat ya enggak, sih?" tanya Nomara sambil menyentuh tangan Rara. Rara hanya tersenyum kecil.

"Habis ini Mbak ganti, Mbak pasti pakai gaun itu, kok. Tenang aja," kata Rara.

"Ya sudah, Nomara mau ke bawah dulu. Assalamualaikum," kata Nomara sambil berjalan keluar dari kamar Rara.

"Waalaikumsalam."

Rara duduk di tepi ranjangnya, ia menyentuh gaun yang berdesain mutiara putih itu. Rara beranjak dari duduknya dan menatap dirinya sendiri di cermin. Rara tersenyum kepada Maisarah yang masuk ke kamar Rara yang sudah menggenakan gamis dan khimarnya dengan rapi.

"Lho? Kok belum dipakai, sayang?" kata Maisarah sambil berjalan ke jendela kamar Rara. Sekedar untuk membuka jendela tersebut agar udara segar masuk.

"Iya, ini mau Rara pakai," jawab Rara dengan berjalan menuju gaun putih polosnya yang dihiasi dengan mutiara putuh.

Maisarah kini sibuk mengambil alat make up di lemari Rara. Rara merasa tubuhnya sangat dingin dan lemas, ia langsung duduk di tepi ranjang dan memegangi dadanya yang kini sakit. Rara merasakan sakit yang cukup hebat di area dadanya, wajah Rara memerah matanya menutup sempurna sambil menahan sakit.

Napas Rara kini tidak beraturan, Rara merasakan jika ia menarik napas, napasnya terasa pendek dan berat. Rara kini hanya bisa beristigfar di antara rasa sakitnya itu. Sementara Maisarah masih sibuk mencari alat make up yang kata Rara ada di dalam lemari.

"Allah ...," lirih Rara sambil memegangi dadanya yang kini sakit. Maisarah yang mendengar lirihan Rara langsung berbalik badan dan menghampiri Rara yang kesakitan duduk di tepi ranjang tersebut.

Maisarah langsung memeluk Rara. Maisarah kini panik, mengapa Rara tiba-tiba kesakitan seperti ini. Maisarah mengusap air mata Rara yang keluar dengan deras, ia mencium kening anaknya dan meminta tolong kepada N
Sela yang lewat di depan kamar Rara.

"Telponkan dokter,  Sel." Sela masuk ke kamar Rara dan langsung menelpon dokter yang memang langganan Maisarah.

Maisarah semakin panik ketika Rara mendongak menatap atap kamar dengan air mata yang keluar dengan deras. Maisarah beristighfar sambil berusaha memegangi kepala Rara agak tidak mendongak. Mata Rara tiba-tita menutup sempurna, wajahnya tiba-tiba pucat dan badannya sangat dingin.

"Rara? Bangun, Rara?!" pekik Maisarah histeris kala mengecek napas Rara masih berhembus atau tidak. Maisarah memeluk Rara yang kini tubuhnya sangat lemas.

"Jangan pergi secepat ini, Nak," pekik Maisarah sambil merebahkan tubuh Maira di ranjang.  Semua orang yang sibuk menyiapkan acara akadpun berlari menuju kamar karena mendengar teriakan Maisarah.

"Innalillahi wainnailahirojiun, Ning Rara meninggal dunia," kata Sela dengan lirih lalu mendekat ke ranjang Rara yang di sana ada Maisarah yang sudah menangis histeris sambil memeluk tubuh lemas Rara.

"Mbak Rara?! Jangan tinggalin Nomaraa," kata Nomara yang ada di ambang pintu itu, ia berlari memeluk Rara dengan erat.

Atmosfer sendu juga dirasakan ketika Wafa menginjakkan kaki di ndalem, suara rintihan tangis hadir di telinga Wafa. Wafa terheran, ia memberhentikan langkahnya sejenak. Menatap abi, umi dan adiknya yang juga terheran. Wafa langsung masuk ke dalam rumah tanpa aba-aba, ia langsung mendapati Sela yang menangis sambil bersandar di tembok.

"Ada apa?" tanya Wafa kepada Sela dengan wajah yang panik.

"Ning Rara meninggal dunia."

"Innalilahi wainnailahirojiun," lirih Wafa.

Wafa langsung masuk ke kamar dan memang ia mendapati banyak saudara-saudara Rara yang memeluknya dengan isak tangis. Wafa mendekat ke ranjang, ia menatap wajah Rara yang masih mengenakan cadar itu dengan getir. Wafa menghela napasnya sambil menutup matanya sebentar lalu mengusap wajahnya prustasi.

"Allah lebih sayang padamu, Ra. Dia mengambilmu untuk selamanya di saat aku akan mengambilmu sebagai pendamping hidupku. Allah ... kuatkan Wafa."

Ruangan yang tadinya dihiasi dengan tawa dan senyuman, kini berubah menjadi ruang yang sangat sendu. Isakan tangis terdengar, saling bersahutan menangisi jasad Rara yang kini sudah berada di keranda itu.

Wafa ikut andil menggotong jenazah Rara menuju pemakaman.  Kalimat laillahaillallah bergema di sepanjang jalan menuju pemakaman. Banyak rombongan yang mengikuti menuju pemakaman dengan tangisan yang sangat sendu.

Wafa masuk ke liang lahat bersama dengan Paman Rara. Mereka meletakkan jasad Rara di liang kubur dengan air mata. Mereka berdua memasang kayu pembatas, lalu beberapa warga menutup liang lahat Rara dengan tanah. Rara dimakamkan di sebelah abinya, hal itu adalah permintaan terakhir abinya sebelum meninggal.

Semua orang meninggalkan pemakaman, hanya ada Wafa sekarang. Ia menyentuh batu nisan makam Rara dengan tatapan getir. Ia menghela napasnya pelan dan menatap langit yang mulai mendung.

"Tenang di sini, semoga Allah tempatkan wanita sebaik dirimu di tempat yang baik pula. Allah tidak mentakdirkan kita bersama, Ra."

T B C

Heeeu, sedih banget jadi Wafa. Mencoba mencintai malah ditinggal pergi buat selama-lamanya😧😣

Janlup votmen, semoga menghibur. Papaay🤗

Hug Me When Halal (END)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें