📙 23. Kata Takdir

161 10 1
                                    

Rara terbujur lemas di brangkar rumah sakit dengan beberapa kabel yang menempel di tubuhnya. Alat pendeteksi jantung itu masih bergerak naik turun, atmosfer kesedihan menyelimuti ruangan tersebut. Maisarah kini berada di samping Rara yang menutup matanya dengan sempurna.

Tangannya sangat dingin, wajahnya banyak luka lebam-lebam yang kini sudah diperban. Maisarah menatap jam yang tergantung di dinding bercat putih bersih itu, menunjukkan pukul setegah dua. Maisarah mengecup kening anak semata wayangnya yang divonis kritis oleh dokter.

Maisarah kini menyuruh satu abdi ndalem kepercayaannya untuk menjaga Rara. Ia harus pulang dan mengurus kematin Zakiyah. Maisarah tidak menyangaka, Zakiyah akan pergi secepat ini di usia yang relatif mudah.

Maisarah kini sedang turut andil untuk mengkafani Zakiyah yang tubuhnya banyak terdapat luka-luka yang amat serius, apalagi di bagian wajahnya. Orang tua Zakiyah menangis histeris dan pingsan beberapa kali, ketika melihat wajah Zakiyah yang sudah berlumuran darah.

Acara pemakaman Zakiyah berlangsung dengan atmosfer sendu. Semua orang yang ada di sana menangis menggiringi jasas Zakiyah yang baru saja ditaruh di tanah. Maisarah memeluk ibu Zakiyah pada saat warga mulai mengumpulkan tanah dengan cangkul untuk menutup kuburan tersebut.

Maisarah mengajak ibu Zakiyah-adik kandungnya sendiri itu untuk pulang. Fania-adik Uswa sekaligus ibu Zakiyah meminta Uswa untuk segera kembali ke rumah sakit setelah menemani Fania menangis di kamar selama satu jam lebih.

Maisarah memutuskan ke rumah sakit diantar oleh Wafa, karena pada saat itu orang yang biasanya mengantar Maisarah kemanapun sedang sakit. Maisarah hanya diam, ia menatap lurus ke depan. Wafa yang sedang menyetir pun hanya diam, ia tidak bisa membuka pembicaraan dengan calon mertuanya itu.

Wafa turun dari mobil kala sampai di rumah sakit, begitu pula dengan Maisarah. Wafa membuntuti langkah Maisarah, sampai di sebuah ruangan Maisarah berbalik badan dan tersenyum kecil kepada Wafa.

"Kamu mau menemui Rara, Nak?" tanya Maisarah kepada Wafa. Wafa mengangguk pelan.

"Masuklah," kata Maisarah sambil mempersilahkan Wafa masuk. Maisarah kini duduk di depan ruangan sambil menghela napas kecil.

Wafa masuk menggunakan pelindung medis, ia mengambil yasin di saku kemejannya. Wafa membuka ruangan, atmosfer sunyi langsung terasa di tubuh Wafa. Wafa menatap alat pendeteksi jantung, masih bergerak naik turun sesuai dengan nafas Rara.

"Lekas sembuh, bukankah kita akan menggelar akad satu minggu lagi? Sembuhlah, masih ada umi kamu dan umiku yang menunggu kebahagiaan kita," batin Wafa sambil menatap mata  Rara yang menutup sempurna, Rara masih sempurna menggunakan cadar.

Wafa membuka yasinnya, ia mulai membaca satu persatu ayat yasin dengan suara yang dipelankan. Namun, Maisarah masih bisa mendengar suara lembut Wafa yang sedang membacakan yasin untuk Maira agar segera bangkit dari masa kritisnya.

"Umi tidak salah menjodohkanmu dengan Wafa, Ra. Dia terlihat begitu menyayangimu," batin Maisarah sambil tersenyum tipis.

"Umi? Wafa izin mau ke pesantren dulu karena umi sama abi baru saja sampai di pesantren, katanya akan menjenguk Rara," kata Wafa yang kini sudah keluar dari ruangan. Maisarah langsung menyetujui dan Wafa segera melenggang pergi.

Wafa mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, karena hujan turun sangat deras dan disertai petir yang menggerikan. Wafa menghela napasnya, memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa mencintai Rara seperti Wafa mencintai Maira sekarang.

"Dia, kan Maira?" gumam Wafa ketika melihat Maira dari kejauhan yang sedang berada di pos ronda sambil memeluk tubuhnya sendiri, tubuhnya kedinginan sekarang.

Wafa memperlambat tempo mengendarai mobilnya, ia melihat jam tangan yang melingkar manis di tangan kanannya. Wafa menghela napasnya, antara menolong Maira atau membiarkannya di sana. Jam menunjukkan pukul setengah tiga, beberapa menit kemudian madrasah akan dimulai tepatnya jam tiga sore.

Mobil Wafa berhenti tepat di depan pos ronda, motor Maira sudah kehujanan sedari tadi. Maira mengernyitkan dahinya, bertanya kepada dirinya sendiri siapa kah pemilik mobil tersebut.

Maira menutup mulutnya dengan tangan kanannya sendiri, disertai angin kencang Wafa keluar dari mobil dengan mengenakan payung hitam itu, membawa jas hujan di tangan kirinya. Wafa berjalan menuju letak Maira dengan wajah yang dingin. Maira bangkit dari duduknya, menatap wajah Wafa dengan tatapan getir. Ternyata, Wafa masih peduli kepada Maira.

"Pakai ini untuk pulang," kata Wafa sambil memberikan jas hujan kepada Maira. Maira menatap jas hujan itu sebentar, lalu menatap Wafa yang sekarang sedang menatap wajah Maira. Maira menerima jas hujan tersebut dengan tersenyum tipis, lalu menunduk karena air matanya seakan-akan memaksa untuk keluar. Maira segera mengusap air matanya uang baru saja luruh, lalu tersenyum tipis kembali.

"Terima kasih banyak, Gus," kata Maira dengan matanya yang berkaca-kaca itu. Wafa yang melihat mata Maira yang penuh dengan air mata itu hanya bisa mengangguk pelan dan menghela napas kecil. Sampai detik ini, Wafa selalu merasa teriris hatinya kala melihat Maira menangis.

Wafa mengambil payungnya yang ia taruh di tanah, Wafa melangkahkan kakinya untuk melenggang pergi meninggalkan Maira. Wafa mengurungkan langkahnya, kala Maira memanggil namanya dengan suara serak, Wafa paham mengapa suara Maira serak, semua itu karena Maira menahan isaknya.

"Terima kasih, sampai detik ini gus masih baik banget sama Maira. Maira enggak pernah nyangka kalau gus masih mau nolongin Maira. Maira tau semuanya tentang apa yang membuat gus menjauh dari Maira. Kita sama-sama berkorban, ya.  Kalau memang Allah mentakdirkan kita bersama, semua akan dipermudah. Semangat, ya gus." Air mata Maira kini sudah tidak dapat dibendung, ia menutup mulutnya sendiri agar Wafa yang kini menghadap ke jalan itu tidak mendengar isakannya. Wafa menoleh kepada Maira sebenyar, mendapati Maira yang menangis Wafa langsung melenggang pergi dan masuk ke mobil.

Wafa memukul setir mobilnya sendiri dengan gusar, ia mengusap wajahnya prustasi sambil menghela napas panjang. Wafa menutup matanya sekejap sambil beristighfar. Wafa merasa kalau dirinya telah menyakiti dirinya sendiri jika ia menikah dengan Rara dan menjauhi Maira. Wafa beristighfar lagi, ia tidak boleh berpikir seperti itu. Ia harus melakukan itu semua demi kebahagian orang sekitarnya.

Wafa melajukan mobilnya kala Maira juga melajukan motornya menembus hujan. Maira memakai jas hujan warna hijau  bermorif hitam pemberian Wafa tadi untuk melindungi tubuhnya agar tidak basah kuyup. Wafa memberi jas hujan kepada Maira karena Wafa ingat jika Maira basah kuyup terkena air hujan rentan membuat Maira sakit. Wafa mendahului motor Maira yang berjalan dengan tempo lambat itu dengan mobilnya yang berjalan dengan tempo cepat. Maira yang menyadari itu hanya menghela napas pelan.

"Suatu saat nanti, kita akan berdampingan. Tidak ada yang mendahului dan terdahului. Gak tau kenapa Maira yakin banget kalau nantinya kita bisa bersatu, Gus."

T B C

Janlup votmen, semoga bermanfaat. Papay🤗

Hug Me When Halal (END)Where stories live. Discover now