📙6.Ketemu Lagi!

144 9 0
                                    

Maira menyalami tangan pamannya lalu tangan bibinya. Dahlia memeluk Maira dengan erat, lalu mencium kedua pipinya layaknya anak masih sekolah dasar. Begitulah Dahlia, sosok ibu yang penyayang dan penuh ambisi.

Maira tersenyum simpul, kala Dahlia dan Rahmat masuk ke mobil. Setelah mobil melaju, Maira menatap gerbang pondok pesantren yang kini sudah ada di hadapannya. Maira mengucap bismillah dalam hatinya, lalu melangkahkan kaki ke dalam halaman pondok pesantren.

Banyak pasang mata santri yang menatap Maira dengan antusias. Maira yang merasakannya hanya menunduk, sumpah ia tidak pernah semalu ini. Maira terus saja berjalan ke arah asrama santri putri, sampai di sana Maira membuka gerbang asrama santri putri yang dominan berwarna hitam.

Maira langsung disuguhi dengan santri putri yang sibuk dengan aktifitasnya sendiri-sendiri. Ada yang tidur di teras, makan bersama, hafalan dan belajar. Maira binggung harus bagaimana, akhirnya ia memilih untuk diam sejenak.

"Assalamualaikum, kamu yang namanya Almaira, ya?" Maira langsung menoleh kepada sumber suara, ia langsung mendapati seorang wanita yang tersenyum manis kepadanya, Maira mengangguk mantap sambil tersenyum.

"Oh, iya. Kenalin saya Qomaria." Qomaria mengajak Maira bersalaman, Maira pun berjabat tangan dengan Qomaria sambil tersenyum.

"Maira ikut saya ke kamar, ya. Barang-barang kamu sudah dibawa tadi malam sama Mas Rahmat, jadi pihak pengurus langsung sekalian memilihkan kamar buat kamu. Enggak keberatan, kan?" kata Qomaria dengan lembut, membuat Maira terseyum simpul.

"Enggak masalah, aku nurut aja," kata Maira dengan santai. Qomaria pun mengangguk pelan.

Maira dan Qomaria berjalan menuju kamar yang berada di lantai dua. Banyak santri yang menepi dari jalan dan menunduk kala Qomaria dan Maira berjalan. Maira merasa aneh, yang ia lakukan hanya bisa tersenyum kepada semua santri dengan ramah.

"Eh, dia santri baru, ya? Cantik banget, ya," bisik seorang gadis bernama Fitri yang berada di bawah tangga itu, sedang belajar beberapa materi kajian kelasnya.

"Iya, katanya sih dia udah lulus sma, di sini mau mondok sama kuliah," timpal santri putri bernama Kanzha sambil menulis beberapa hafalannya di buku catatan.

"Gak salah dia mondok? Udah gede baru mondok, mungkin pas kecil gak sempet mondok karena sibuk maksiat," lontar Fitri-santri yang kerap dijuluki tukang bikin onar di pesantren.

"Hust, jangan gitu. Gak ada kata telat buat belajar, udah jangan gibah. Selesaiin tuh kerjaan kamu, jangan gibah orang aja," saran Kanzha sambil berjalan menaiki tangga, meninggalkan Fitri sendirian di bawah tangga.

"Dia santri baru yang pertama mondok di awal tahun ajaran baru tahun ini, abis ini bakalan banyak santri baru berdatangan, males banget gue ngeladenin santri baru yang dikit-dikit nangis," celoteh Fitri sambil membuka kitabnya yang sudah sobek-sobek itu.

Kanzha berjalan ke kamarnya, pastinya untuk mengambil beberapa catatan yang ketinggalan di kamarnya. Kanzha yang hendak masuk ke kamar sontak memberhentikan langkahnya karena mendapati Qomaria yang ada di kamar bersama dengan Maira sedang menata lemari milik Maira.

"Eh ada Kanzha. Sini," titah Qomaria, Kanzha pun mengangguk dan berjalan dengan sopan.

"Tolong kamu bantu Maira tata barangnya di lemari, ya. Nanti, kalau sudah ditata, kamu antarkan Maira ke kantor pengurus. Terima kasih, Kanzha," tutur Qomaria dengan penuh kelembutan, Kanzha pun mengangguk pelan.

Qomaria berjalan meninggalkan Maria dan Kanzha di kamar. Kanzha memeberikan senyuman manis ketika Qomaria sudah pergi sambil tersenyum lega.

"Aku bantuin, ya." Maira pun mengaangguk sambil tersenyum, lalu ia ikut menata barang-barangnya ke lemari.

"Kenalin dulu, namaku Kanzha Azzizy, kamu bisa panggil aku Kanzha," kata Kanzha sambil mengajak Maira berjabat tangan.

"Nama aku, Almaira. Kamu bisa panggil Mai." Mai menjabat tangan Kanzha lalu ia memberikan senyum.

"Makasih banyak, ya. Udah dibantuin, ngerepotin enggak? Nih sebagai balas jasa, aku kasih kamu cokelat," kata Maira sambil menyodorlam sebatang cokelat di hadapan Kanzha.

"Sama-sama. Tapi, aku bantu kamu ikhlas, kok. Jadi, coklatnya kamu simpan saja," saran Kanzha dengan tersenyum.

"Beneran enggak mau?" tanya Maira memastikan, Kanzha pun mengangguk mantap.

"Oh iya, kita ke kantor pengurus dulu, yuk," ajak Kanzha, Maira hanya mengangguk pelan lalu mereka berjalan berdampingan menuju kantor pengurus.

Para santri putri yang melihat Maira berjalan berdampingan dengan Kanzha itu membuat banyak pasang mata yang menatapnya. Maira risih sekarang, ia mempercepat tempo berjalannya dengan menggandeng tangan Kanzha. Maira hanya menunduk, sebenarnya Maira ingin sekali menampar para santri yang menatapnya tidak henti-henti itu, tapi urung. Ia ingat, niatnya ke sini untuk mencari ilmu, bukan mencari musuh.

"Kak Qamar itu siapa sih? Kenapa banyak santri yang kayak segaan banget ke dia?" tanya Maira ketika sudah keluar dari gerbang asrama putri, berjalan di tepi halaman bersama Kanzha menuju kantor pengurus.

"Beliau cucunya kyai di sini, pantaslah para santri memperlakukan Ning Qamar kayak gitu. Oh, iya buat sekedar tau, mulai sekarang kamu panggil Ning Qamar ya, bukan dengan sebutan kakak, Kanzha takut nanti kamu jadi bahan obrolan Fitri sama tim-timnya," saran Kanzha langsung disambut senyuman oleh Maira.

"Makasih, ya. Udah beri tau aku, makasih juga udah mau berteman sama aku. Aku bukan wanita baik, Zha. Kamu belum tau aku yang aslinya, aku harap setelah kamu tau aslinya aku, kamu enggak ngejauh. Aku bisa dan sangat mudah berubah sifat, lama kelamaan sifat burukku akan muncul di permukaan. Aku harap kamu enggak ngejauh dari aku kalau sampai itu benar-benar terjadi," kata Maira panjang lebar, Kanzha tersenyum simpul lalu terkekeh pelan.

"Aku netral, aku akan berteman dimana seorang teman itu mau berteman denganku dan bisa menghargai aku, itu aja. Kamu harus bisa kuat di sini nantinya, bakalan ada baaanyaaak hal baru yang kamu temuin, dan aku akan selalu ada dampingin kamu di situasi itu," sambung Kanzha, diakhiri dengan ulasan senyum manis dari Maira.

"Makasih banyak, Zha. Aku pikir, aku enggak akan pernah ketemu teman sebaik kamu di sini," kata Maira lalu Kanzha pun terkekeh.

Mereka sampai di depan kantor pengurus, bangunannya cukup besar. Di sana ada banyak wanita-wanita berkerudung panjang yang sibuk dengan laptopnya sendiri-sendiri. Sampai di mana ada Ning Qamar melambai pada mereka berdua, mereka masuk dengan mengucap salam.

"Saya nyuruh kamu ke sini untuk pendataan ulang, Mai. Tolong isi data diri kamu di kertas ini, ya. Nanti kalau udah, kamu bisa setorkan ke Gus yang ada di pojok sana," titah Ning Qamar seramah mungkin, Maira mengangguk sopan.

"Zha, aku dulu lahirnya tanggal berapa ya?" bisik Maira kepada Kanzha yang ada di sampingnya.

"Gimana sih? Masa sama tanggal lahirnya aja lupa, sulit deh kalau gini," bisik Kanzha pelan, sambil menoleh ke kanan kiri.

"Ingat-ingat lagi, Mai. Kamu pasti ingat, kok," bisik Kanzha lagi.

Maira menulis tanggal lahirnya asal-asalan, perutnya tiba-tiba saja mulas sepertinya ia menginginkan untuk ke kamar mandi. Maira mengisi biodata tersebut dengan cepat. Lalu segera menyetorkannya kepada Gus yang berkopyah hitam di pojok sana, sedang mengambil pulpennya yang jatuh di bawah meja.

"Nih, biodata gue," kata Maira sambil membungkam mulutnya sendiri, bisa-bisanya ia memakai kata gue lagi di sini.

"Oh, pendataan ulang, ya?" jawab seorang gus yang suaranya tidak aneh lagi di telinga Maira. Maira menelan salivanya, "aduh, suaranya. Jangan-jangan ini ... Ah enggak! Bisa mati kutu gue," batin Maira dengan menahan perutnya yang sudah mules tidak tertahan.

"Anda lagi?," katanya sambil mengecek kertas pemberian Maira dengan santai, sedangkan wajah Maira sudah panas tak tertahan.

"Ustad tukang ngatur, beneran ini kita ketemu lagi? Padahal Mai harap kejadian malam itu adalah pertemuan kita yang terakhir, ah enggak Mai harus segera pergi," batin Maira dengan menatap wajah Ustad Wafa dengan tatapan takut, sedangkan Wafa masih santai mengecek kertas pemberian Maira.

To Be Continue

Janlup vote komen, semoga menghibur, papayy😊

Hug Me When Halal (END)Where stories live. Discover now