📙11. Edisi Nyasar

124 6 0
                                    

"Kalau dipikir-pikir, Maira kok balik lagi ke jalan di mana Mai ngechat Gus Wafa. Astagfirullah, Mai nyasar ini. Mai gak tau jalan sekitar sini. Ya Allah, gimana ini."

Maira melepas helmnya, dia duduk di pos ronda pinggir jalan sambil melihat langit yang mulai mendung. Jangan sampai sore ini hujan dalam keadaan Maira yang masih tidak tau jalan pulang. Maira baru ingat, dia juga bisa menggunakan maps untuk kembali ke pesantren. Namun nihil, baru saja ia mengambil handphonenya dari tas ia baru ingat kalau kehabisan baterai.

"Udah nasib kali ya, Maira nyasar kayak gini. Ya Allah, Maira baru ingat kalau abis ini diniyah udah mau mulai. Masa iya, Mai harus alfa?" monolog Mai sambil memasukkan handphonenya ke tas.

Maira melangkah dari pos ronda, hendak mencari bantuan kepada warga. Namun, niatnya urung kala sadar di sekitarnya hanyalah sawah yang membentang luas dan tidak ada warga sekalipun. Maira harus kembali ke pos ronda, sambil berharap bantuan datang.

Hujan tiba-tiba turun, Maira menghela napas pelan. Maira binggung harus bagaimana, hanya berdoa saja yang bisa ia lakukan. Bersamaan dengan sambaran petir yang menghantam pohon kelapa di tengah sawah, Maira melihat Wafa dan teman laki-lakinya melintas. Maira langsung berdiri dan memekik nama Wafa sekeras mungkin. Yang benar saja, suara cempreng Maira mampu memecah atmosfer bunyi hujan yang deras, buktinya Wafa memberhentikan motor dan menoleh kepada Maira yang melambaikan tangan.

"Gus Wafa?! Tolongin Maira!" pekik Maira lagi-lagi sambil melambaikan tangannya kepada Wafa. Suaranya terdengar begitu cempreng.

"Siapa dia, Waf? Istrimu?" kata teman Wafa sambil menepuk pundak Wafa pelan. Wafa langsung menggelengkan kepalanya dan putar balik menuju letak Maira.

"Kamu ngapain di sini, hm? Kamu mau bolos madrasah diniyah? Cepat pulang, jangan jadikan hujan sebagai alasan," omel Wafa sambil turun dari motor, begitu juga dengan temannya.

"Gus, jangan negatif terus pikirannya. Jadi gini, ceritanya Maira itu," ucap Maira lalu memberhentikan ucapannya karena menatap sekilas wajah Wafa yang sudah memasang tatapan tajam.

"Kenapa?" tanya Gus Wafa dengan menaikkan alisnya, lalu melihat jam yang melingkar manis di tangan kanannya.

"Maira nyasar, enggak tau jalan pulang," kata Maira pelan lalu menyengir kuda, sumpah ia malu setengah mati berbicara hal tersebut kepada Wafa.

"Astagfirullahaladzim, kenapa kamu tidak bareng sama saya saja tadi? Gini, kan jadi rumit," kata Wafa menyalahkan Maira yang kini hanya menunduk menatap tanah.

"Bareng? Maksutnya, kita boncengan?" tanya Maira dengan polosnya, membuat Wafa menghela napas panjang, lalu mencoba untuk sabar menghadapi Maira.

"Enggak gitu juga konsepnya, kalau saja kamu bilang sama saya enggak tau jalan pulang, kamu bakalan sudah sampai di pondok dari tadi," terang Wafa panjang lebar, Maira hanya mengangguk pelan.

"Maira enggak kepikiran, Gus. Maaf banget." Maira tersenyum kaku setelahnya, Maira merasa merepotkan sekarang.

"Kamu mau nunggu hujan reda atau gimana?" tawar Wafa kepada Maira yang duduk di pos ronda sambil menatap hujan yang turun deras.

"Terobos aja, hujan bakalan terus hujan, kita enggak pernah tau kapan redanya. Ayo, Gus. Tunjukin jalan pulang," kata Maira dengan semangat. Ia memakai helm kemudian memakai jaketnya.

Maira langsung menaiki motor milik Wafa yang basab kuyub itu dengan tersenyum tipis. Dia harus menerobos hujan sekarang, apalagi ia punya kewajiban untuk mengikuti madrasah diniyah. Wafa dan temannya pun sama, sedang menaiki motor. Setelah itu Wafa dan temannya mulai menembus jalan dengan motor 90-an milik temannya Wafa, disusul dengan Maira dengan sedikit menyipitkan mata akibat air hujan yang terasa perih jika mengenai air matanya.

Hug Me When Halal (END)Where stories live. Discover now