📙24. Jas Hujan

148 8 0
                                    

Maira kini sudah hampir tiba di pesantren, ia menurunkan kecepatan motornya karena terdapat seorang laki-laki yang cukup gagah memandangnya dari depan gerbang. Maira menyipitkan matanya, meneliti siapa orang yang mengenakan payung yang berada di depan gerbang pesantren.

"Tunggu," cegahnya kala Maira hendak masuk ke gerbang. Maira mengernyitkan dahinya, kenapa seorang laki-laki beralis tebal ini mencegahnya.

"Kamu siapa?" kata Maira dengan wajah yang sedikit heran, kini hujan sedikit reda tidak sederas tadi.

"Kenalin, saya Muhammad Yusuf Al-Qurdy. Kamu Maira bukan?" kata Yusuf dengan menunjuk wajah Maira sebentar. Maira menelan salivanya pelan, lalu menghela napas kecil.

"Jadi, dia yang ngirim cv ta'aruf ke Maira. Heum, walaupun ketemu cowok yang tampannya mau gimanapun, cinta Maira entah kenapa tetap stay di Gus Wafa," batin Maira.

"Iya, saya Almaira. Kenapa mencegah saya masuk? Saya harus buru-buru diniyah," kata Maira sedikit tidak sopan kepada calon suaminya itu, entah kenapa Maira masih belum bisa menerima kehadiran Yusuf.

"Ini, bukannya jas hujan milik Mas Wafa? Kok ada di kamu? Kamu masih diam-diam bertemu dengan Mas Wafa?" kata Yusuf membuat Maira menatap lurus ke depan dan menghela napas panjang.

"Duh, bisa gawat kalau sampai tau ini jas dari Gus Wafa, Maira bohong demi kebaikan gak apa-apa kali, ya?" batin Maira.

"Memangnya, yang punya jas hujan kayak gini cuman Gus Wafa aja? Enggak, kan gus." Maira masih tetap memandang lurus ke depan, sedangkan Yusuf ia memijat pelipisnya sambil menghembuskan napasnya.

"Ya, tapi kan kita itu calon suami ist-." Ucapan Yusuf terpotong karena Maira meletakkan telunjuknya di depan bibirnya sambil menatap Yusuf dengan tatapan yang tidak mengenakkan.

"Maira enggak punya waktu buat debat, soalnya buru-buru mau diniyah. Maaf, ya. Assalamualaikum," kata Maira lalu melajukan motornya masuk ke halaman pesantren.

Maira melepas jas hujan pemberian Wafa tadi lalu melipatnya. Maira kini berjalan ke asrama putri dengan sedikit kedinginan. Jangan sampai ia sehabis ini akan jatuh sakit. Maira segera meminta tolong Jeni untuk menaruhkan tasnya di dalam kamar, lalu Jeni juga mengambilkan seragam diniyah Maira yang ada di lemari. Maira tidak masuk kamar karena sebagian roknya telah basah.

Maira langsung mandi, kebetulan antrian kamar mandi sedang tidak padat. Jadi Maira langsung masuk ke dalam kamar mandi yang kosong.

🕊🕊🕊

Maira kini berjalan di koridor kelas bersama dengan Selian, santri putri berumur delapan belas tahun itu. Maira memang berteman baik di kelas dengan Selian. Maira dan Selian jarang bertemu ketika di asrama, karena mereka berbeda daerah. Maira daerah A sedangkan Selian daerah C. Jadi, mereka jarang bertemu, mungkin bisa bertemu sekilas ketika di musholla.

"Kak Mai rencananya mau mondok berapa tahun?" tanya Selian, langsung disambut senyuman hangat dari Maira.

"Terserah takdir, Lian," kata Maira sambil memaksakan tersenyum, padahal Maira sedang merasakan sakit di kepalanya dan badannya agak panas. Selian yang menyadari wajah pucat Maira pun langsung mengajak Maira segera kembali ke asrama, Selian takut terjadi apa-apa padanya.

🕊🕊🕊

Kini Selian membawa satu baskom yang berisi air hangat dan satu kain. Ia membawa jauh-jauh dari daerah C sekedar untuk mengkompres Maira. Selian tau bahwa badan Maira semakin panas dari Mbak Nahla yang sedang berkunjung ke daerahnya.

Selian turut prihatin ketika membuka pintu kamar dan mendapati Maira yang meringkuk lemas di ranjang dengan mata yang sedikit memerah. Selian mendogak ke ranjang tingkat dua yang ada di atas ranjang Maira. Di sana ada Kanzha yang tidur dengan pulasnya. Sama sekali tidak menghiraukan kondisi Maira sekarang.

Selian duduk di tepi ranjang, ia menempelkan telapak tangannya di kening Maira. Suhu badan Maira sangat panas sekarang. Selian segera mengompres Maira dengan wajah yang getir, ia menyentuh tangan Maira,  menggandengnya dengan erat lalu menghela napas pelan.

"Kak Mai cepat sembuh, ya. Kak Mai harus kuat," kata Selian dengan nada yang lembut, ia membernarkan letak selimut tipis yang Maira kenakan.

"Selian?" panggil Maira dengan nada pelan, Selian yang baru saja beranjak untuk menutup jendela itu urung, sontak duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Maira yang pucat.

"Kakak butuh apa? Kakak mau ke kamar mandi atau Kakak mau makan?" ujar Selian diakhiri dengan senyuman.

"Makasi banyak kamu udah kompres Kakak. Kamu kembali ke daerah kamu saja, sudah malam," kata Maira dengan pelan, sambil memeganggi lengan Selian.

"Lian bakal balik ke daerah Lian kalau Kak Mai udah makan, udah minum obat dan udah tidur," jawab Selian dengan nada yang semangat. Maira hanya bisa tersenyum tipis dalam keadaan kepalanya yang sangat pusing itu.

"Kak Mai makan roti terus minum obat, ya?" ucap Selian langsung diangguki oleh Maira.  

"Ambil rotinya di lemari kakak, jangan ambil di kamar kamu. Kejauhan," kata Maira ketika Selian akan keluar dari kamar.

Selian pun mengambil roti di lemari Maira, ia mulai menyuapi Maira sambil menggodanya agar Maira mau tersenyum. Setelah roti habis, Maira meminum obat dengan bantuan Selian.

Beberapa menit setelah minum obat, Maira tertidur dengan pulas. Mungkin, itu adalah efek obat yang Maira minum. Selian menatap wajah damai Maira ketika tertidur. Selian berjalan ke kamar pengurus untuk meminta izin tidur di kamar Maira agar Selian bisa menjaga Maira dengan baik. Pasalnya, tiga teman sekamarnya tidak ada yang peduli dengan kondisi Maira saat ini. Selian takut ketika tengah malam Maira butuh sesuatu, teman sekamarnya tidak ada yang mau menolongnya.

Pengurus mengizinkan Selian dengan senang hati. Selian segera kembali ke kamar Maira kemudian menggelar tikar mini di sebelah ranjang Maira. Maira mengambil kitabnya yang sengaja ia titipkan ke Maira di rak buku, Selian berjalan mengambil dampar kecil dan menaruh kitabnya di atas dampar tersebut.

Selian belajar sekaligus menjaga Maira. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul satu malam, Selian tertidur dengan kepalanya yang ia sandarkan ke tembok.

🕊🕊🕊

Jam beker Maira berbunyi tepat di jam tiga malam, ia memindahkan kain kompresan yang ada di dahinya kepada baskom yang ada di nakas. Maira mencoba duduk dan langsung mendapati Selian yang tertidur dalam keadaan belajar. Kitabnya masih terbuka dan Selian masih memegang pensil, sementara kepalanya ia sandarkan di tembok.

"Ya Allah, Lian ... Kenapa kamu tidur di situ. Maira jadi merasa bersalah sama kamu," batin Maira sambil menginjakkan kakinya di lantai.

"Lian? Banguun ... Kita sholat tahajjud berjama'ah, yuk." Maira menyentuh pundak Selian dengan lembut. Beberapa kali Maira bangunkan, Selajn tidak kunjung bangun. Maira tersenyum kecil dan membiarkan Selian tertidur.

"Kanzha kemana? Kok enggak ada? Biasanya jam segini dia masih tidur," gumam Maira sambil menatap ranjang Kanzha yang kosong.

"Heum, mungkin dia sedang sholat malam. Positif aja, Mai."

T B C

Jangan lupa votmen, semoga menghibur, papaaay🤗

Hug Me When Halal (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu