📙2. Go To Bandung

226 10 0
                                    

"Ah, susah juga hidup sendirian. Kalau kayak gini caranya Mai bisa-bisa tinggal di kampung aja bareng bibi, paman sama Dirwa."

Maira merasakan perutnya keroncongan bukan main, membuka tudung saji yang tersisa hanyalah mie samyang pemberian Rara kemarin yang kini telah basi. Membuka kran air untuk sekedar mencuci muka pun tidak ada, air tidak mengalir sama sekali. Sumpah, Maira memang cewek yang super pemalas, bagaimana tidak? Ia jam 12 siang baru saja bangun dari tidur pulasnya.

"Ah, fiks ini. Mai harus tinggal di Bandung." Sarkas Maira sambil memencet tombol hpnya untuk menelpon bibinya.

"Bisa-bisa Mai mati kelaparan di sini."

Maira berceloteh panjang lebar kepada bibinya di sambungan telepon tersebut, sumpah Maira hanya ingin segera dijemput untuk pulang ke Bandung. Ya, begitulah Maira selain pemalas, dia juga agak sedikit plin plan.

"Naik bus aja, biar lebih hemat. Bibi enggak perlu jemput Mai jauh-jauh ke Jakarta. Entar masalah ke rumahnya Bibi, Mai bisa naik apa aja," putus Maira.

Sekitar lima belas menit berbincang dengan bibi, Maira menutup sambungan teleponnya lalu segera mengemas barang-barangnya, membersihkan rumah kesayangannya ini sampai bersih. Maira mengelap figura foto yang terdapat di atas meja belajarnya itu yang penuh debu, tertera fotonya bersama Cahaya di Monumen Nasional Jakarta ketika Maira masih berumur 6 tahun, di foto tersebut Maira terlihat bahagia dengan gaun mini warna pink dan rambutnya yang di kuncir dua. Maira memeluk foto tersebut dengan erat, sedetik kemudian ia menangis kecil dan Maira segera menyeka air matanya gusar. Maira tidak boleh terus menangis, Maira harus kuat. Maira memasukkan foto kenangan satu-satunya tadi ke tas ransel miliknya yang di sana sudah ada baju dan barang penting lainnya.

"Jakarta, 5 April 2022. Terima kasih untuk segala hal baik maupun buruk yang kutemukan di sini. Aku banyak berterima kasih untuk orang-orang yang menyayangiku, Rara dan Mbak Siren yang selalu ada. Maira pamit buat ke Bandung, Mai tinggal di sana sama bibi, jangan pikirin Maira lagi ya, Maira pasti bahagia kok di Bandung. Maaf kalau selama 17 tahun ini Maira banyak ngerepotin. Kali ini, Maira enggak akan ngerepotin kalian lagi, kalian hidup yang tenang ya. Maira pamit, tolong jaga rumah mini Maira, makasih banyak. Mai minta tolong satu kali lagi, kalian sering-sering kunjungin pemakaman ibu, ya atau sekedar ngirim al-fatihah aja gak apa-apa.Mai pamitan lewat surat karena Mai gak mau lihat air mata di pipi kalian, love u so much."

Maira menulis surat perpisahan pada secarik kertas dan ia tempel di pintu depan rumahnya, sengaja ia membiarkan kuncinya menggantung di gagang pintu. Maira menatap setiap inci bagian depan rumah mininya dengan tatapan getir, menahan air matanya agar tidak turun. Maira menghela napasnya kasar, membalikkan badannya dan berjalan menjauh dari rumahnya dengan berbagai memori kenangan yang berputar di otaknya bagai kaset rusak.

🕊🕊🕊

Maira kini berjalan menuju rumah terakhir ibunya, membawa buket bungga warna unggu kesukaan ibunya dulu. Ia jongkok di depan pemakaman ibunya yang sama sekali belum ditumbuhi rumput itu, menaruh buket bunga di sana dan tersenyum tipis dengan matanya yang berkaca-kaca. Membaca Al-fatihah untuk ibunya berharap ia mendapat tempat terbaik di sisi Allah.

"Bu, Mai pamit ke Bandung." Itulah kata-kata yang mampu Mai ucapkan, bibirnya kelu seakan-akan terkunci. Mai terasa lemas setiap kali berziarah ke pemakaman ibunya.

Hujan mengguyur bumi, membuat Maira menatap langit mendung itu dengan tatapan sayu. Maira menatap pemakaman ibunya, menahan tangis dan segera berjalan menjauh. Maira harus segera ke terminal sekarang, takut jika ia ketinggalan bus yang menuju Bandung.

🕊🕊🕊

Untung saja, Maira tidak ketinggalan bus. Maira datang di waktu yang tepat. Maira kini duduk di bangku bus yang di sebelahnya kini terdapat wanita yang memakai hijab sepanjang bahu berwarna army, sedang membaca buku berukuran kecil, kertasnya warna kuning cerah, ia membacanya dengan samar namun Maira masih bisa mendengarnya. Maira menyelipkan anak rambutnya ke daun telinganya sambil menatap lalu lalang kendaraan dari cendela bus, sumpah Maira dibuat penasaran dengan buku kecil yang wanita itu baca.

Maira membenarkan posisi duduknya sambil melambai kepada penjual makanan ringan yang ada di bus

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Maira membenarkan posisi duduknya sambil melambai kepada penjual makanan ringan yang ada di bus. Penjual itu pun menghampiri Maira dan menawarkan hendak membeli apa. Akhirnya Maira memilih permen, mulutnya terasa pahit tidak mengobrol sejak awal naik bus tadi.

"Mau permen?" tawar Maira kepada wanita yang ada di sampingnya, dengan tatapan gugup wanita itu menatap Maira sambil menggelengkan kepala.

"Lo kok betah sih, enggak bicara dari tadi. Rahasianya gimana?" tanya Maira asal-asalan membuat wanita itu tersenyum tipis.

"Eh, enggak ada rahasianya, sih," jawabnya singkat sambil menutup buku kecilnya itu.

"Oh iya. Btw, itu buku apaan? Kok serius amat bacanya, kayaknya tulisannya bahasa arab deh. Iya gak? tanya Maira dengan urat malu yang sudah hilang entah kemana.

"ni itu, nadzoman." Maira mengerutkan alisnya, bahasanya terasa asing untuk Maira.

"Na-dzo-man?" tanya Maira melakukan penekanan di setiap hurufnya.

"Iya, nadzoman. Penasaran? Nih," kata Maira sambil menyodorkan buku kecil tersebut kepada Maira. Maira menerimanya dengan ragu, memegangnya lalu membolak-balikkan buku tersebut dengan tatapan aneh.

Maira membuka buku kecil tersebut, di sana ada foto ukuran mini tertera foto wanita itu dengan seorang laki-laki berkopyah putih dan memakai sarung beserta sarung putih. Maira terdiam, memandang laki-laki tersebut dengan berdecak kagum di dalam hatinya."Wah, ganteng banget," batin
Maira sambil tersenyum tipis.

"Dia siapa?" tanya Maira dengan percaya dirinya sambil menunjuk foto tersebut.

"Dia kakak aku, kenapa?" tanya wanita itu dengan tersenyum tipis kepada Maira.

"Ganteng, kayak keturunan orang penting, dilihat dari mukanya aja udah ketebak," jawab Maira diakhiri dengan kekehan kecil milik Maira.

"Bisa aja, kamu. Oh iya, kita belum kenalan nih. Kenalin, aku Zahira Az
rillah. Namamu?" ujar Zahira dengan sikapnya yang tenang dan ramah.

"Nama gue, Almaira. Btw boleh minta nomor telepon? Kayaknya bergaul sama cewek kayak lo enggak ada masalah," kata Maira lalu Zahira terkekeh pelan sambil menutupi mulutnya.

"Eh, buat saat ini handphone Zahira ada di kakak, Zahira juga enggak hafal nomernya berapa. Nanti deh, kalau udah sampai di terminal bandung, Zahira langsung kasih nomernya," kata Zahira panjang lebar, Maira pun mengangguk pelan.

"Oh, emangnya diterminal dijemput sama siapa?" tanya Maira setelah itu Maira memasukkan dua permen sekaligus ke dalam mulutnya.

"Sama kakak," jawab Zahira singkat sambil membenarkan posisi duduknya.

"Kakak lo yang ada di foto ini?" tanya Maira dengan tatapan menunggu, Zahira langsung mengangguk mantap sambil tersenyum.

Maira menghadap ke arah depan, tersenyum tipis sambil berharap segera sampai di terminal Bandung. "Kesempatan, nih. Kepo juga aku sama kakaknya Zahira. Siapa tau dia suka sama Maira yang cantik jelita sedunia ini," batin Maira sambil menghela napas pelan.

To Be Continue

Jangan lupa vote dan komen, dua hal itu bisa support besar baaaanget dalam nulis cerita, papayy🤗


Hug Me When Halal (END)Where stories live. Discover now