📙21. Ta'aruf?

156 9 0
                                    

"Ustad Wafa mau dibuatin kopi?"

Wafa menggeleng pelan sambil sibuk menatap layar laptopnya, jarinya bergerak lihai di papan ketik laptop. Wafa kini sedang mengerjakan tugas mata kuliahnya, catat!  Bukan tugas mata kuliah Maira lagi. Wafa memang kalau soal tugas harus cepat dikerjakan, ia tidak mau menumpuk tugas.

"Assalamualaikum, Nak Wafa?" Wafa menaruh laptopnya di meja, ia berjalan menuju pintu sambil menjawab salam.

"Umi? Sama siapa ke sini?" kata Wafa sambil mengajak Uswa masuk ke salam rumah. Uswa duduk di ruang tamu, Wafa pun duduk di sampingnya.

"Umi ke sini sama Abi, dia lagi sowan ke maqom. Umi langsung ke sini, kangen sama kamu," kata Uswa diakhiri dengan senyuman tipis. Uswa tidak sowan ke maqom kyai karena ia sedang udzur.

"Oh, iya. Umi mau bahas soal perjodohan kamu sama Ning Rara. Kamu mau Waf kalau seumpama kamu kirim cv ta'aruf ke dia. Biar kalian bisa saling mengenal, soal diterima atau tidak serahin aja sama yang di atas. Gimana, Waf?" tanya Uswa membuat Wafa gelagapan untuk menjawabnya.

Wafa telah memutuskan untuk menjauh dan melupakan Maira. Ia tidak mau memikirkan Maira lagi, tapi kenapa hatinya selalu tidak berhenti mengajak untuk memikirkan Maira. Wafa menghela napasnya, mencoba untuk tidak memikirkan Maira sekarang. Akhirnya, Wafa memutuskan untuk mengirim cv ta'aruf kepada Rara, demi kebahagiaan Uswa. Sepertinya, Uswa sangat berharap jika Wafa menikah dengan Rara. Berarti, Abinya-Hannan belum bercerita soal Wafa yang mencintai Maira, biarkan semua ini berjalan dengan sendirinya.

"Wafa sudah siapkan cv ta'aruf itu, Umi. Sebentar,  Wafa ambilkan," kata Wafa sambil berjalan ke kamar, mengambil cv ta'aruf yang seharusnya ia serahkan khusus kepada Maira, kini cv ta'aruf itu harus diberikan kepada wanita lain selain Maira. Sungguh menyedihkan.

"Kamu sudah siapkan sejak kapan, Nak?" kata Uswa sambil menerima cv ta'aruf tersebut. Wafa menatap kertas-kertas yang diberi map itu dengan tatapan getir.

"Seharusnya, Maira yang menerima kertas-kertas tebal itu bukan Rara," batin Wafa sambil tersenyum hangat kepada Uswa yang sedang membuka cv ta'aruf tersebut dengan wajah yang gembira.

🕊🕊🕊

Maira kini berada di teras musholla, mecoret-coret buku diarynya sambil menatap lurus ke depan. Maira kini sendirian, tidak ada Kanzha yang biasanya selalu ada di sisinya dalam kondisi apapun sebelum isu-isu menyebar bahwa Maira dekat dengan Wafa.

"Aku netral, aku akan berteman dimana seorang teman itu mau berteman denganku dan bisa menghargai aku, itu aja. Kamu harus bisa kuat di sini nantinya, bakalan ada baaanyaaak hal baru yang kamu temuin, dan aku akan selalu ada dampingin kamu di situasi itu."

Maira terisak kecil, mengingat kata-kata Kanzha satu bulan yang lalu. Maira merasa mendapatkan teman sejati ketika Kanzha berbicara sedemikian rupa kepada Maira. Maira kini menatap lurus kedepan, ia hanya bisa diam walaupun banyak santri yang menyapa Maira, menggibah dari kejauhan dan ada juga yang menatap Maira dengan pandangan aneh sekarang.

"Hidup Maira jadi serumit ini? Allah, Maira capek. Maira enggak tau harus ngeluh sama siapa kalau bukan sama Allah. Ya Allah, kuatkan Maira. Maira tau ini ujian buat Maira, beri Maira kekuatan." Maira merobek kertas coretannya itu lalu meremasnya dan memasukkan ke dalam tong sampah.

"Lo depresi? Oh, mungkin karena ditinggal pindah pesantren sama jantung hati, jadi depresi deh. Kacian banget kamuu," ledek Fitri sambil duduk di klesehan di samping Maira.

"Enggak, Maira baik-baik aja, Fit." Maira beranjak dari duduknya, ia berjalan menuju kamar.

Maira membuka pintu kamar, ia langsung mendapati Kanzha yang sedang membuka lemarinya sedang mencari sesuatu. Maira paham jika kini Kanzha tengah lapar, apalagi Kanzha sama sekali belum makan dari tadi pagi sampai jam satu siang.

Kanzha yang sadar jika Maira masuk kamar, sontak ia keluar dari kamar tanpa melihat wajah Maira. Maira mengehela napas pelan,  kemudian membuka lemarinya untuk mengambil roti dan susu botolan. Maira memang dibawakan makanan dan minuman pengganjal lapar oleh Dahlia.

Maira naik ke ranjang Kanzha, ia meletakkan roti dan susu tersebut di ranjang Kanzha. Maira segera turun dan pura-pura tidur di ranjang ketika Kanzha masuk.

"Dimakan ya, Zha. Semoga bisa ganjal lapar kamu. Makan sampai habis, biar kamu berenergi dan enggak sakit," batin Maira dengan tak sengaja air matanya menetes.

Maira membuka matanya, kala ada yang mengetok pintu kamar. Menunjukkan Mbak Nahla yang ada di ambang pintu yang memberikan senyuman gembira kepada Maira. Maira tersenyum heran, ia berjalan ke pintu untuk menghampiri Nahla.

"Nih, cv ta'aruf dari Gus Yusuf. Dia kasih kamu berpikir satu minggu, kalau udah ada jawabannya ia akan segera mengkhitbahmu. Atau kurang dari satu minggu juga enggak apa-apa, Mbak tunggu kabar baiknya, Mai. Pesan dari Gus Yusuf, jangan sampai cv ta'aruf ini diketahui sama santri yang lain. Gus Yusuf tidak mau mempublish hal ini, kecuali kalau sudah halal."

Maira menerima cv ta'aruf tersebut dengan tangan yang gemetaran. Maira memegang kertas-kertas yang berada di map hijau itu dengan tatapan getir. Nahla hanya tersenyum kasihan kepada Maira. Nahla tau jika Maira itu cintanya sama Gus Wafa bukan Gus Yusuf.

"Mbak tinggal ke ndalem, ya. Mbak harus masak," kata Nahla lalu mengucap salam dan melenggang pergi.

Maira masuk ke dalam kamar, ia menutup pintu dan duduk di ranjangnya. Maira menatap cv ta'aruf yang kini ada di pangkuannya. Maira membuka satu lembar itu, membacanya dengan sedikit ingin menangis.

"Muhammad Yusuf Al-Qurdy."

Maira menutup kembali kertas tersebut. Ia tidak boleh melangkah lebih jauh, karena kedua paman dan bibinya belum mengetahui sama sekali tentang ini. Mungkin, besok Maira akan memberitahunya.

🕊🕊🕊

"Tanda i'rab rafa' apa saja?" tanya Wafa kepada Nomara yang hanya bisa celingak-celinguk. Semua teman-teman kelasnya sudah pulang dari tadi. Memang, Wafa menerapkan sistem tanya jawab sebelum pulang diniyah. Hal tersebut dilakukan untuk meneruskan sesuatu yang biasanya dilakukan Ustad Tamim.

"Kasrah," jawab Nomara  asal-asalan. Membuat Wafa memukulkan kayu panjang tersebut ke papan tulis. Nomara terkejut dan menghela napas panjang.

"Eh, saya lupa ustad. Tolong kasih saya keringanan." Nomara memohon kepada Wafa dengan muka sok lucu, Wafa melihat sekilas wajah Nomara itu menjadi teringat tentang kelakuan Maira  ketika meminta keringanan.

"Maira pilih berdiri di depan kelas aja, daripada keliling tujuh kali putaran di halaman. Asal, Gus Wafa kasih Maira keringanan. Besok, Maira janji setor surat Al-Muzammil sampai ayat terakhir."

"Kasih Maira keringanan, Maira lagi capek gus, Maira gak akan secapek ini kalau gus enggak nyuruh Maira keliling lapangan tujuh kali kayak gini. Fuh ... ayo kasih keringanan!"

"Gus, abis ini Maira harus kuliah. Gimana kalau hukumannya sampai jam lima aja."

Wafa membuyarkan lamunannya, memori tersebut berputar di kepala Wafa tiada hentinya. Wafa segera menyuruh Nomara pulang tanpa pertanyaan. Jelita yang menunggu Nomara di depan pintu itu mengernyitkan dahinya.

"Enak banget lo," kata Jelita sambil mendorong tubuh Nomara pelan, ketika Nomara ada di depan pintu.

"Ya iyalah, kakak ipar gitu lho! Dikasih keringanan, dong. Duh cinta aku sama si ustad," kata Nomara sedikit sombong.

T B C

Janlup votmen, dan semoga menghibur🤗

Hug Me When Halal (END)Where stories live. Discover now