[ Part 27 ] Bukan Tuduhan

Start from the beginning
                                    

"Mulai sekarang lo mainan gue, Nara."

Nara seketika membuka matanya saat mendadak perkataan Genan tempo lalu teringat lagi. Nara marah karena baru menyadari bahwa pertolongan yang diberikan cowok itu saat ia hendak bunuh diri mempunyai maksud tersendiri.

"Kenapa lo nyelamatin gue waktu itu? Bukan gue yang ngajak lo masuk ke hidup gue, Genan. Tapi lo dulu yang masuk ke hidup gue."

Nara menghela napas sembari menghirup udara pagi hingga ke rongga dalamnya. Rasanya sangat sejuk dan menenangkan. "Gue capek. Sejak dulu gue pengen nyerah dan bunuh diri, tapi lo malah datang dan bikin gue tambah menderita."

"Tapi demi anak gue, gue nggak bakal nyerah lagi kali ini. Gue bakal berusaha bertahan meskipun itu bikin gue tersiksa," renung Nara dengan senyum kecut.

Nara berdiri dari sofa lalu berjalan ke pinggir balkon. Menghirup udara segar pagi hari seraya menikmati hangatnya mentari yang mulai menyorot lebih terang.

"Gue tahu lo marah dan benci gue karena gue nuduh lo, waktu ayah nanya soal siapa yang pantas bertanggungjawab atas kehamilan gue. Tapi gue punya alasan. Alasan yang cukup kuat kenapa gue nekat nyebut nama 'Genan' malam itu," gumamnya.

"Entah lo akan percaya atau tidak, gue bakal mengungkap hal itu. Hari ini."

Nara merenung cukup lama dengan pikiran bercabang. Gadis itu menghela napas lelah menyadari bahwa hidupnya terasa semakin rumit sejak hadirnya bayi itu. Tapi Nara juga tak bisa terus menyalahkan bayi tak berdosa itu. Nara harus menerimanya walau rasanya berat.

Cukup lama Nara berada di balkon, dan matahari mulai menyorot lebih terang menandakan hari semakin siang. Tapi pintu balkon tak kunjung dibuka yang tentu membuat Nara kesal. Hei, Nara harus sekolah hari ini. Apa ia akan terlambat lagi?

Perempuan itu berjalan ke pintu kaca. Ia sedikit bernapas lega saat tahu Genan sudah bangun. Cowok itu tak ada di ranjangnya, mungkin tengah mandi. Lagi-lagi Nara bernapas jengah. Kenapa tidak dibukakan pintunya lebih dulu!

Nara berdecak kesal. Tapi setelah cukup lama menunggu akhirnya ia melihat Genan yang sudah rapi dengan seragam, lengkap dengan hoodie hitamnya.

"Genan! Buka. Gue juga harus sekolah!" teriak Nara sembari mengetuk pintu itu berkali-kali.

Genan yang tengah merapikan rambutnya dengan jemarinya itu melirik sekilas ke arah Nara. Lalu tertawa sinis dan kembali fokus merapikan rambutnya di depan cermin. Tak peduli dengan Nara yang terus berteriak kesal.

Karena sudah terlalu kesal, Nara nekat mengambil pot tanaman yang ada di balkon dan hendak melemparnya ke pintu kaca itu. Melihat Nara senekat itu tentu membuat Genan melotot. Lantas dengan langkah tegap cowok itu membuka pintu pembatasnya. Jangan lupakan juga tatapan tajamnya yang menusuk pada kedua mata Nara.

"Lo senekat itu? Gila lo," sinis Genan terdengar santai tapi penuh penekanan.

Nara justru tertawa mendengar ucapan Genan. "Lo yang gila! Gila lo karena nyuruh gue tidur di balkon tanpa selimut atau bantal. Gue kedinginan!"

Genan tak menjawab, ia justru melangkah dan mengambil alih pot tanaman dari tangan Nara. Kemudian menaruhnya dengan hati-hati ke tempat semula. Bahkan cowok itu juga membersihkan beberapa daunnya yang sudah kering dengan telaten.

Nara hanya bisa mengamati kegiatan cowok itu dengan kening mengerut. Genan itu kenapa? Aneh sekali.

"Lo lebih peduli sama tanaman itu daripada gue yang kedinginan semalaman?" tanya Nara pada akhirnya.

"Gue?" Genan menunjuk dirinya, "peduli sama lo?" Ia tergelak sejenak, "jangan mimpi!"

Kemudian Genan melenggang pergi, tapi langkahnya terhenti saat Nara memanggilnya. "Genan."

Silence Of Tears (TERBIT) Where stories live. Discover now