Day 28

4K 356 13
                                    

BAGI aku dan Kak Fathar, hari kemarin benar-benar bersejarah bagi kami. Kemarin adalah hari di mana aku pribadi berani menyentuhnya bahkan sampai puluhan kali, sensor geliku mendadak ikut hilang dalam sehari saja hanya karena sesi pemotretan dengan Kak Fathar.

Mulai dari tangan hingga pinggangku sepertinya sudah tersentuh semua! Hash, aku malas mengingatnya!

Menggelikan.

Tiba di rumah kami berdua langsung tidur dikarenakan kami pulangnya memang setelah Isya. Makanan pernikahan kemarin baru bisa disantap ketika Magrib, aku berkenalan dengan banyak teman-teman Abah, dan banyak lagi yang dilakukan hingga tenaga kita berdua tidak lagi tersisa setibanya di kamar.

Lalu di hari ini, kegiatanku benar-benar tidak lagi serba sendirian. Aku sibuk menemani Kak Fathar belajar berjalan tanpa tongkat, dia sudah bisa berjalan sedikit-sedikit. Lengannya juga sudah tidak sengilu kemarin, dia bahkan sudah bisa mandi sendiri, pakai baju sendiri, dan ... menggenggamku setiap saat.

Mau bagaimana lagi?

“Duduk sebentar, Bibah. Saya capek,” keluhnya berpegang erat di lenganku. Aku segera membawanya berjalan sedikit menuju balkon terdekat.

Kami duduk berdampingan di kursi sana, saling melempar tawa puas setelah seharian belajar berjalan bersama. Begini sekali cerita hari pertama kita setelah menikah, bukannya seperti pasangan lain yang biasanya suami membantu di dapur, ini malah belajar berjalan seperti bayi kembali.

Tapi tidak apa. Aku justru lebih senang kita seharian were touching agar seterusnya jadi lebih cepat terbiasa saling menganggap satu sama lain. Aku memang belum bisa mengunyah dengan baik status serba dadakan ini.

Tahu sendiri kan aku tipenya perlu persiapan serba matang. Dan, yang kulakukan hari ini adalah bentuk persiapanku agar kedepannya aku bisa menjalaninya sesuai komitmen awalku dengan Kak Fathar. Beribadah seumur hidup dengannya.

“Masih sakit nggak kakinya tadi?”

“Nggak sakit banget. Kayanya sih udah bisa dipake ke masjid, tapi masih harus dipegangin,” katanya.

“Mau ke masjid?” tanyaku mendadak tidak yakin.

Aku lupa bahwa seisi komplek mungkin sedang gencar-gencarnya membicarakan kita berdua. Kami memang tidak sempat lagi memberi tahu siapa pun tentang pernikahan kemarin dan kemungkinan baru tersebar luas hari ini. Jika kami munculnya harus sekarang sekali, kita pasti akan kebanjiran pertanyaan meneror. Kurasa biar urusan pernikahan kemarin dijelaskan oleh para orangtua saja, mereka lebih paham mengobrol sesamanya orangtua.

“Aku udah bisa ke masjid kayanya,” jawabnya kembali.

“Ke masjidnya besok aja ya. Hari ini kita berjamaah di rumah dulu,” kataku.

“Kenapa?”

“Tunggu sekomplek tahu dulu soal kita, jadi nggak kaget banget mereka ngeliat kita tiba-tiba barengan,”

“Ya makanya ayo ke masjid biar pada tahu orang-orangnya,”

“Ya jangan sekarang juga. Paling sekarang udah pada denger kabar kita nikah, kalau kita muncul takutnya jadi diborongin juga,” belaku.

“Tolong, bantuin aku berdiri bentar,” pintanya tiba-tiba. Aku sigap memasang badan menjadi tempat berpegangnya untuk bangkit. Langkah patah-patahnya menghampiri bibir balkon sembari menyelidik sepanjang jalan.

Aku masih kebingungan hendak apa dia, sebelum akhirnya lengannya melebar menjangkauku masuk dalam rangkulannya begitu seorang ibu di bawah sana menyebrangi rumahku.

Assalamualaikum, Bu Ajeng,” sapa Kak Fathar hangat. Bu Ajeng yang sepertinya habis berbelanja rempah perdapuran menengok ke atas, ke arah kita.

Ramadhan Tale (END)Where stories live. Discover now