Day 20

3.2K 330 0
                                    

ABAAAAHHHH!!!” Suaraku meringis, nyaris menangis melihat  kelakuan Abah.

Ujung bajuku sampai kusut kuremas tidak habis pikir lagi, kata Abah sebelum mengajak ke pondok tadi kita hanya mau memberesi beberapa barang Abah sebelum hari libur di pesantren tiba. Tahu-tahu sampai sini Abah tidak mengatakan bahwa di pondok ada si dia juga! Iya, dia!!!

Cukup tahulah siapa yang kumaksud!

Padahal Abah mendengar pembahasan kita kemarin sore, kenapa jadi pura-pura lupa sih. Aku kan canggung berat bertemu dia!

“Itu kenapa Kak Fatharnya ada di sini sih, Bah? Abah mah suka gitu, nggak ngomong-ngomong dulu!!!” decitku tidak terima.

“Ya masa kamu lupa sih, Fathar kan ngajar di sini juga, Nak. Jadi wajar dia di sini,”

“Yaudah kalau gitu nggak usah di sini terus, ayo kita ke ruangan Abah berberes cepet. Biar bisa cepetan pulang, ayo—”

“Kak Habibahhh!!!” pekik suara di belakang tiba-tiba menyela niatku. Kak Fathar yang berjarak tidak jauh dari aku dan Abah ikut menengok mendengarnya.

Sempat pandanganku sesaat bertemu dengan pandangannya di sana, sebelum dibuyarkan oleh kedatangan Azzam—pelaku yang berteriak—berlari menyusulku.

Assalamualaikum, Kak Habibah,” sapa Azzam.

Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh, Azzam. Azzam dari mana?”

“Dari masjid, Kak,” jawabnya.

“Ngapain di masjid? Ini kan belum dhuhur,”

“Abis hafalan. Tapi udah mau disetor cepet-cepet aja ke Ustadz Fathar,” akunya sembari menekuk mukanya sedih.

“Tumben nggak semangat gitu, Zam. Azzam ada masalah ya?” tanyaku.

“Nggak,” jawabnya tidak, namun raut wajahnya justru kontras menunjukkan jawaban yang tidak sama.

“Bener??? Azzam kalau boong dosa loh, Dek. Apalagi ini bulan Ramadhan. Coba cerita ke Kakak,” bujukku, ikut berjongkok menyamakan tinggi kita berdua.

“Nggak apa-apa, aku tadi sedih aja kok, Kak. Soalnya kakak kelas Azzam di masjid bilang aku hafalan mulu, padahal Ustadz Fathar nggak maksa harus hafal 30 juz buat kelas 4. Tapi kan Azzam yang mau, Kak,” curhatnya benar-benar sedih, sampai kedua matanya menampilkan tatapan berkaca-kaca.

“Hm, gimana ya? Mereka sebenarnya nggak salah sih ngasih tahu Azzam, tapi Azzam kan ngehafalnya juga bukan karena disuruh Ustadz Fathar kan ya? Jadi ... kalau menurut Kakak, Azzam kasih tahu balik aja kalau Azzam tujuannya masuk pondok, ya buat hafalan. Kalau bisa lebih cepat hafalnya, kenapa harus tunggu lama? Kalau kelas 4 udah bisa tasmi’ 30 juz, kenapa harus tunggu kelas 5 atau 6. Iya kan?”

“Iya, Kak. Itu kan tadi aja sedihnya, sekarang udah nggak lagi kok. Aku ngerti maksudnya mereka. Azzam cuman nggak bisa cepet lupa aja, tapi insya Allah habis magrib pasti udah lupa. Tenang aja, Kak,”

“Gitu dong. Azzam santri terbaik deh yang pernah Kak Bibah temuin. Besok, kalau ada tegur-tegur Azzam hafalan lagi, bilangin aja anaknya Abah Abdullah mau ngeliat Azzam tasmi’ 30 juz sebelum kelas 6. Dijamin, nggak ada yang berani tegur-tegur lagi. Okey?!”

“Hihihi, Kak Habibah lucu deh!” Azzam ikut menyengir kuminta tersenyum sepertiku.

“Gitu dong, senyum! Ya udah, sana gih ke Ustadz Fathar. Mumpung lagi ngeliatin Azzam tuh, kayanya udah nungguin Azzam setor hafalan deh,” suruhku.

“Kak Habibah nggak mau temenin?” pintanya, sukses meluruhkan senyumku mendadak suram seketika. Mati aku!

“Kenapa mau ditemenin? Kan deket aja itu ustadnya,”

Ramadhan Tale (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu