Day 1

13K 703 12
                                    

APAKAH hanya aku yang merasakan bahwa Ramadhan adalah jangka waktu terspesial yang pernah ada dalam setahun?

Kurasa tidak. Seluruh muslim pasti merasakan hal sama. Kapan lagi bisa sholat berjamaah sampai saf masjid hampir penuh seluruhnya, atau datang menyiapkan takjil berbuka sebelum sholat magrib?! Rasanya kenangan tersebut tidak akan ada duanya sepanjang tahun.

Satu yang harus kusayangkan setelah beranjak sedewasa ini; aku tidak lagi punya banyak kesempatan untuk mengulang kenangan-kenangan tersebut. Tugas kuliah membuat waktuku hampir teralihkan bahkan di bulan penuh rahmah ini.

Sebenarnya sudah ada rencana bahwa kampus akan diliburkan, tapi karena kemarin ada sedikit kendala pada sistem pembelajaran kampus, maka beberapa jurusan harus memanfaatkan setengah waktu bulan suci Ramadhan untuk keperluan praktik laboratorium, agar sebelum lebaran nanti semua jurusan dapat diliburkan, termasuk jurusanku.

Aku ikut membuka mata tatkala driver Go-Car yang seharusnya mengantarku sampai rumah tiba-tiba harus berhenti bukan pada tujuannya. Kuperhatikan di luar sana sedang ada kerumunan yang tersebar di depan salah satu rumah di lorong tetanggaku. Aku tak tahu siapa yang datang sampai tetangga harus berkumpul menyambut taksi di depan sana, yang jelasnya mereka jadi memblokade jalanan tercepat yang harus kutempuh untuk sampai ke rumah sore ini.

“Kayanya kita puter balik aja, Mbak. Di depan lagi rame banget,” ucap Abang taksi online di depanku.

Kuhela napas beratku, padahal ini baru saja puasa pertama, tapi sudah diuji kesabaran saja. Kuterima penawaran sang driver untuk mengalah dari kerumunan mereka, padahal beberapa menit lagi aku sudah bisa istirahat di kasur, berarti harus ditunda sampai sepuluh menit kedepan lagi.

Assalamualaikum, Umah,” ucapku memberi salam pada Umah yang masih berada di dapur. Nyaman sekali bersender di bahunya setelah sepanjang hari harus berurusan dengan peralatan lab.

Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh. Anak umah udah pulang Alhamdulillah,”

“Bibah lemes banget, Umah, tadi macetnya lumayan parah di jalan, belum di depan lorong Abi Barak, kayanya lagi kedatangan imam besar, sampai ibu-ibu rame banget depan rumahnya. Terpaksa deh driver muter lewat lorong sebelah lagi,”

“Mungkin imam buat tarwih nanti malam kali, asar tadi emang Umah denger sepintas bakal ada imam baru nanti, cuman Umah nggak begitu jelas dengernya,”

“Gitu ya? Ya udah deh, Bibah ke kamar dulu ya Umah. Abis ngasih makan Mona, Bibah langsung ke sini,”

“Mau ngapain ke sini? Kerjaan Umah kan udah selesai. Lebih baik kamu mandi, habis tuh siap-siap ke masjid, anak Umi Hilda tadi siang nyariin kamu katanya kenapa nggak dateng rapat?”

“Gimana mau dateng, mereka udah bubar, Bibah baru aja selesai nyusun laporan!” dengusku memanyun.

“Nggak apa-apa dong, sholihahnya Umah, biar cepet wisuda kan? Hehe,” Umah terkekeh mencium keningku. Hanya kuiyakan dengan senyum meringisku sebelum meninggalkan Umah. Aku yakin sih insyaa Allah tahun depan bisa wisuda, tapi makin ke sini rasanya aku dituntut mengeluarkan lebih banyak usaha lagi.

Jadi ya sudah, nikmati saja proses lelahnya.

***

Assalamualaikum. Kak Bibaaaah ...”

Aku cepat-cepat keluar dari ruang tamu setelah mengenali suara Salma, dia anak Umi Hilda yang sempat Umah singgung tadi. Dia sudah lengkap mengenakan busana terbaiknya di depan pagar besi sedada rumahku, rencana kita akan segera berangkat ke masjid.

Ramadhan Tale (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang