Day 21

2.9K 306 11
                                    

SEPULUH hari terakhir Ramadhan, masjid komplek kami jadi ramai dijadikan tempat i’tikaf oleh para bapak-bapak yang sekiranya tidak berkesibukan di rumah. Bahkan tidak hanya para orangtua saja, anak muda bahkan bocah-bocah kecil pun banyak yang ikut berdiam di masjid. Sampai rasanya malu sendiri datang ke masjid kemudian disambut anak-anak kecil saling memamerkan kegiatannya satu sama lain.

“Kak Bibah, tolong dong,” panggil Amel.

Kususul cepat gadis cantik yang kewalahan memegangi panci berukuran besarnya di jok belakang motornya itu.

“Ya ampun, Mel, kok bawa ginian sendirian doang sih? Yang lain pada ke mana?” ujarku segera membantu.

“Masih di rumah Abi Barak, mereka lagi bantuin Umi Hilda siapin menu takjil, apalagi kan Abi Barak sama Kak Fathar lagi i’tikaf, jadi Umi butuh banget bala bantuan buat makanan berbuka untuk yang lagi i’tikaf,”

Panci berisi es buah tersebut bergegas kami bawa masuk segera. Amel menuntunku menuju ruangan 4 X 4 di samping mimbar, hanya saja kami harus lewat pintu belakang. Di bagian dalam masjid banyak jamaah i’tikaf pasalnya.

“Kak Bibah nggak lagi sibuk kan? Aku mau minta tolong jagain es buahnya boleh nggak? Aku masih harus balik soalnya,”

“Iya nggak apa-apa, tapi kamu nggak lama kan?” tanyaku balik memastikan juga.

“Iya, nggak kok. Aku duluan kalau gitu, Kak, assalamualaikum,”

Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh.

Mendadak suasana di sekitarku menjadi hening seperginya Amel dengan langkah terburu-burunya, pintu tempat menyimpan menu takjil ikut kututup takut ada yang tidak sengaja masuk menemukan aku seorang diri di sini.

Sedang sunyi-sunyinya ruangan yang kuhuni, lantunan bacaan Al-Qur'an tiba-tiba saja menyusup dari dekat jendela ruangan. Suaranya yang bening membuatku tertarik penasaran gerangan siapa pemilik suara indah tersebut.

Aku mengintip di balik sisi jendela melihat langsung tepat di bawah kaca jendelaku, ada Kak Fathar yang sepertinya sengaja menepi dari anak-anak yang asik perang sarung. Lantunannya menyejukkan, memberikan nuansa kuat bahwa sekarang sedang Ramadhan yang identik dengan hati yang kembali suci, penuh amalan-amalan baik.

Aku ikut bermohon dengan amat serius, semoga Kak Fathar secepatnya menemukan seseorang yang dia anggap lebih pantas menemaninya, daripada harus menungguku. Aku menyadari bagaimana buruknya sikapku terhadapnya selama ini, aku mungkin telah berhasil menjatuhkan kepercayaan dirinya hanya karena menyukai seseorang yang belum siap. Aku berharap dia tidak kehilangan tekadnya melihat seseorang yang lebih baik di luar sana.

“Kak Bibaaaah ...” Seorang anak di kejauhan sana tiba-tiba saja melambaikan tangan dengan ceria dari balik kaca.

Aku balas tersenyum kepada dia sambil melambaikan tangan juga. Dia ternyata hanya iseng memanggilku lalu kembali dalam permainan perang sarungnya.

Begitu kukembalikan lagi atensiku pada harapan semula, tiba-tiba juga Kak Fathar sudah menyorotku seperti tengah menangkap basah kehadiranku mengintipnya.

Astagfirullah! Bagaimana ini? Aku, aku harus apa sekarang?

“Kamu terkunci di dalam situ?” tanyanya kepadaku. Buru-buru aku menggeleng salah tingkah.

“Saya jagain es buah, Kak. Nggak sengaja aja denger Kakak ngaji, makanya ke sini. Dilanjutin aja Kak ngajinya, saya permisi. Assalamualaikum,”

Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh.”

Saat itu juga kami berpisah. Aku duduk melimpir di ujung ruangan berdampingan dengan panci besar yang kujaga. Dalam hati, segelintir pikiran sepertinya telah menjalar dari ingatan hingga ke jantungku.

Ramadhan Tale (END)Where stories live. Discover now