Day 22

2.8K 311 5
                                    

ALLAHU AKBAR!

Abah kalau punya keinginan, maunya diburu-burukan. Aku jadi tidak karuan meraup mukenaku cepat-cepat turun menemuinya.

Bisur’ah! Bisur’ah! Abah udah telat, Sayang!”
[Cepetan! Cepetan!]

Abah bertepuk-tepuk tangan menyuruhku bergerak cepat. Tangga rumah sampai harus kulompati dua anak tangga sekali melangkah turun.

Abah membawa segera lenganku begitu sampai di hadapannya untuk ke masjid mencari Abi Barak, sebelum sholat Asar aku memang sudah menaruh janji menemani Abah meminta tanda tangan atas maklumat waktu liburan anak pondok nanti yang harus segera ditandatangani Abi Barak.

“Bahasa Arabnya pelan-pelan apa sih, Bah?”

“Aduh, Nak, belajar bahasa Arabnya nanti aja.  Ustadz Salim udah nagih surat putusannya nih,” Abah jadi bak dikejar deadline laporan praktikum, persis seperti kelakuanku.

Aku bahkan pernah menangis karena mengharapkan Moza menyelesaikan tugas laporan kita saat itu dan tiba-tiba dia tidak ke datang kampus, deadline sisa beberapa puluh menit lagi dan Fika baru saja bergerak menuju kos Moza yang sangat berlawanan arah.

Meski pada akhirnya laporan kami selesai tepat waktu, namun tetap saja menguras air mata dan adrenalku. Aku benar-benar tidak terbiasa menghadapi situasi dadakan, semuanya harus sesuai perencanaan matang-matang.

Tiba di masjid, Abah hanya memintaku menunggu di luar sebab di dalam pasti banyak jamaah ikhwan, kalau aku memaksakan diri bisa-bisa mereka jadi terganggu dalam pekerjaannya.

Ah iya, aku rasanya belum pernah bercerita tentang mesjid sejuta kegunaan ini. Jadi, selain menjadi tempat beribadah, halaman masjid juga bisa menjadi tempat bermain bulutangkis atau sekedar mengobrol bahkan mengerjakan tugas.

Tepat di depan gerbang utama masjid, kita disuguhkan dengan lapangan bulutangkis untuk anak-anak bermain, di sampingnya ada gazebo serbaguna—bisa jadi tempat nongkrong, kerja tugas, diskusi, dan lain-lain—satu lagi yang tidak boleh kulupakan, WiFi masjid yang menjadi alasan gazebo ini menjadi spot terbaik di luar masjid. Dan sekarang aku juga sedang duduk di gazebo ini. Melihat anak-anak kejar-kejaran di teras masjid.

Brugh!

Suara sesuatu terjatuh tiba-tiba terdengar, badanku sontak bangkit dari duduk menolong tabrakan keras antara Zian dan Arsya di teras masjid. Ketika lenganku berhasil meraih pundak Zian, seseorang juga datang dari arah berlawanan menolong Arsya.

Begitu kulihat dia ... aku dikejutkan dengan sosok Kak Fathar ikut menatapku tidak menyangka.

“Kak Fathar?” desisku.

“Tolong, Zian dan Arsyanya dibantuin dulu. Akbaaarrr ... tolong,” panik Kak Fathar memanggil anak-anak remaja masjid. Tidak lebih dari semenit mereka juga sudah datang.

Zian dan Arsya lalu dibantu Akbar dan kawannya masuk ke dalam, bocah-bocah yang lain ikut pergi melihat kepala Arsya berdarah tertumbuk dengan Zian.

Tersisa aku dan Kak Fathar.

Canggung sekali!

“Kamu ke sini sama Abah?” sahutnya bertanya basa-basi di sampingku.

“Iya,”

Aku hanya menjawab singkat, lalu dibalas anggukan paham oleh dia.

“Abah kayanya masih agak lama di dalem, lagi video call sama Ustad Salim juga soalnya. Saya boleh bicara sebentar tidak, Habibah?” tanya Kak Fathar lagi.

Abah kebiasaan, apa-apa suka tidak mengatakan dulu padaku. Sekarang pakai video call segala, aku jadi tidak punya alasan menghindari Kak Fathar.

“Ngobrolnya di sana aja,” ajaknya kemudian menunjuk anak tangga tiga biji di depan. Aku duduk semeter jauh darinya, tidak ingin terlalu dekat.

Awan cerah tak lepas kuperhatikan dari bawah sini, sinar senjanya yang masih hangat menyorot kehadiran kita berdua duduk saling menatap langit. Tak bisa kujelaskan seberapa buruknya perasaanku sekarang!

“Sebelumnya maaf ya, Habibah, saya jadi ganggu waktu kamu. Soal yang di rumah kamu kemarin—”

“Udah, Kak! Nggak usah dibahas lagi!” sergahku menahan lebih dulu bahasannya yang kutahu akan mengungkit hal apa.

“Saya harus membahas ini, Habibah. Karena ini menyangkut saya dan kamu,”

“Kak Fathar! Kita nggak seharusnya membahas apa pun selain urusan kampus—ah tidak! Bahkan urusan kampus pun kita nggak ada hal yang perlu diperbincangkan,” ucapku penuh penekanan, kembali pada sosokku yang pertama kali ditemuinya dulu.

Menyebalkan.

Buruk.

Tidak sopan.

Demi dia membenciku dan melupakan perasaannya itu! Kita tidak seharusnya ditakdirkan sebagai apa pun!

“Saya paham, Habibah, saat ini kamu mungkin risih mendengar nama saya. Tapi saya juga tidak bisa duduk diam tidak menyelesaikan perasaan saya kepadamu. Kamu sudah terlanjur tahu, dan tolong biarkan saya menyelesaikannya hingga akhir,”

“Aku bukan nggak mempersilakan Kakak menyelesaikan semuanya, tapi buat saya memang tidak ada hal yang pernah dimulai. Jadi apa yang harus Kak Fathar selesaikan? Nggak ada,”

“Ada.”

“Apa? Perasaan Kakak itu??? Aku harap Kak Fathar nggak pernah menarik aku ke dalam masalah perasaan Kak Fathar itu. Karena aku nggak pernah merasa masuk mengambil tempat di sana!” tegasku menjelaskan diriku selama ini terhadapnya.

Aku tak pernah berusaha menarik perhatiannya atau bahkan mengundang kekagumannya. Aku hanyalah perempuan yang turun dari taksi kemudian meneriakinya dengan sangat tidak sopan. Itu adalah aku yang seharusnya dia tahu!

“Tapi aku tetap tidak bisa membiarkanmu berlepas diri. Karena, kamu adalah objek dari perasaan saya. Saya tidak bisa menyelesaikan ini dengan orang lain, Habibah,” ucapnya lirih bertahan di atas pendiriannya.

“Kak Fathar, udah! Aku mohon berhenti bersikap keras gini. Aku cuman nggak mau sakitin Kak Fathar. Aku udah menganggap Kak Fathar tuh kaya keluargaku sendiri, aku nggak mau ada yang berlebihan gini,” pintaku penuh permohonan.

“Habibah, Tolong. Tolong kasih saya kesempatan, satu kali saja ...”

“Kesempatan apa?”

“Tolong kasih saya kesempatan satu kali bertamu ke rumah. Setelah itu, apapun jawaban kamu akan saya terima,” pintanya tidak kalah memohon.

Tidak kupahami lagi harus menanggapinya seperti apa! Kita berdua mungkin akan selamanya seperti ini, saling mengeraskan diri.

“Kak Fathar stop! Jangan nyari penyakit ya. Bertamu atau tidak, Kakak udah tahu jawaban saya, jadi jangan diperparah dengan harus mendengar langsung saya benar-benar mengatakan jawaban itu!” balasku, tak mungkin lagi memberinya ruang berharap kembali.

“Apa semustahil itu kita bisa bersama, Habibah?”

“Ya.” Aku menjawabnya dengan amat sangat yakin, bahkan aku melihatnya bak tak memiliki hati secuil pun.

“Udah ya, Kak. Apa yang kita lakukan belakangan ini, hanya memperburuk keakraban kita. Perasaan Kakak ... udah merusak semuanya. Saya permisi, assalamualaikum.”

Aku pergi setelah mengatakan kalimat tersebut.

Maafkan aku Abah, sesuatu memaksaku harus meninggalkan Abah pulang sendiri.

Aku benar-benar tidak nyaman lagi dengan Kak Fathar. Dan kurasa sore ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Aku tidak ingin melihatnya lagi!

***

To be continued

Ramadhan Tale (END)Where stories live. Discover now