Day 4

4.2K 457 4
                                    

SUDAH hampir dua hari berlalu semenjak obrolan rahasia Salma dan aku dibahas di depan pintu utama masjid saat itu, hari ini aku tak pernah melihat Salma datang membantu pekerjaan remaja masjid menyusun kotak-kotak berisi menu takjil untuk para jamaah lagi.

Aku juga jarang melihatnya lewat di sekitar rumah, entah dia memang tidak ada atau malas keluar rumah. Tapi kurasa tidak mungkin dia malas mengingat abinya adalah Abi Barak dan tidak pernah ada sejarah anak itu melewatkan Ramadhan dengan semangat menyusut begitu, aku masih sempat melihatnya baik-baik saja terakhir kali kita berbicara sebelum waktu iftar tiba saat itu.

“Salma nggak dateng tarwih lagi, Mel?” tanyaku pada salah seorang remaja masjid di sampingku. Biasanya remaja masjid selalu kebagian saf paling belakang mengingat urusan mereka lumayan banyak dari sekadar datang sebagai seorang jamaah biasa.

“Iya nih, Kak, udah beberapa hari ini dia nggak pernah nyahut setiap dijemput ke rumahnya,”

“Kayanya lagi ada masalah serius, soalnya Kak Fathar kalau keluar pasti alasannya gitu-gitu aja, katanya adiknya nggak bisa ke masjid dulu, nggak dijelasin tuh kenapanya!” tambah yang lain ikut menyahut juga.

“Gimana kalau besok kita jemput Salma lagi, lumayan bisa ketemu Kak Fathar, hehe ...” Yang di samping kiriku menyengir mengunjuk gigi rapinya pada di pihak sebelah kananku.

“Istighfar, Ratu. Kamu mah om-om pun dihaluin juga! Sampai Kak Fathar nanti nikahnya nggak sama kamu, siapa yang mau tolong ngobatin hati kamu yang hancur berkeping-keping itu?” omel Ria bersama Amel yang tidak habis pikir, pasalnya Ratu masih sangat kecil mengkhayalkan lelaki yang lebih cocok jadi omnya. Dia bahkan masih siswi berseragam SMP yang nekad membandingkan usianya dengan pria tua yang setahuku sudah selesai program magisternya.

“Kalian jangan munafik, kalau nggak ada Kak Bibah aja, pada semangat bahas anak cowoknya Abi Barak! Tahu kan orang munafik tempatnya di tempat paling dasar neraka. Jadi jangan sekali-kali kalian berkata tapi dusta. Kalau suka, bilang aja suka!”

Hush! Tuh kotak amalnya udah deket!” Suaraku akhirnya menyela perdebatan mereka. Bukan kakak dari Salma yang kutanyakan sejak tadi, tapi malah mereka bahasnya topik yang lain.

Seberes tarwih dilaksanakan malam itu, aku bergegas pulang ke rumah menyelesaikan beberapa tugas yang harus beres di hari esok. Tidak lupa makanan Mona ikut kubawa ke kamar, kucing persia berbulu abu-abu itu sekarang jadi super sensitif, entah habis diberi chip apa sampai kelakuannya jadi tidak terkontrol padaku. Kadang baik, kadang juga mencakarku tanpa berpikir, apalagi ketika lapar.

“Bibah ...” sahut tiba-tiba suara Umah di balik pintu. Aku bergegas membukakan Umah pintu untuk menanyakan maksud kedatangan Umah. Tumben loh!

“Umah?”

“Bibah udah mau tidur, Nak?” tanya Umah di muka pintu.

“Belum, Umah. Lagi pengen selesaiin tugas buat besok aja,”

"Kebetulan! Ini ada kolak dari Umi Hilda, Umah sama Abah udah kekenyangan, sayang banget kalau kolaknya nggak ada yang makan,”

“Oh gitu. Yaudah deh, makasih Umah,” ucapku sembari menerima mangkuk sekali pakai berisikan kolak pisang tersebut.

Aku tak tahu apa masih ada keperluan lain sampai Umah belum beranjak juga setelah urusan kolaknya beres? Aku jadi ikut diam menunggu Umah angkat bicara.

“Mm, Bibah masih ada kerjaan nggak, Nak?” tanya Umah, bak ragu menanyakannya.

“Kerjaan? Ada sih tugas dikit, tapi kalau Umah butuh bantuan Bibah, bisa kok. Umah butuh apa memang?”

“Umah mau ngobrol sebentar sama Bibah, bisa?”

“Masa mau ngobrol sama anak sendiri Umah harus minta izin sih? Bolehlah, yuk ngobrol di kamar Bibah aja,”

Kupersilakan Umah masuk mengambil tempat di kasurku dan aku duduk menghadap Umah dengan semangku kolak masih di peganganku. Sepertinya obrolannya agak serius, jadi kutunda untuk menyantap pemberian Umi Hilda dengan mendengarkan seksama apa yang Umah ingin utarakan.

“Jadi begini, Nak, Umah mau tanya serius ke Bibah ... semisal nih, Bibah ada rezeki dateng tiba-tiba buat Bibah, kira-kira tanggapan Bibah gimana?”

“Rezeki? Kalau rezeki ya insyaa Allah diterima dong Umah. Cobaan aja kalau dateng kita mesti ikhlas terima, apalagi rezeki, bersyukur banget pasti,”

Umah tiba-tiba membenarkan duduknya, meski ada ragu nampak jelas tercetak dari gerak-geriknya.

“Jadi, Umah tuh tadi sempet ketemu temen Umah, terus ... dia nanyain kamu gitu. Dia punya anak laki-laki, insyaa Allah agamanya baik, Bah. Bibah bersedia nggak kalau diajak ta’aruf sama seseorang sekarang?”

“Maksud Umah?” Mendadak senyumku pudar dari pipi. Apakah rezeki yang Umah maksud adalah merelakan anak satu-satu Umah akan dinikahkan dengan seseorang secepat ini?

Oh tidak!

Aku sama sekali belum siap meninggalkan Umah sebelum baktiku cukup membalas jasa Umah dengan kesuksesan.

“Umah nggak maksa Bibah kok, Nak. Kalau Bibah memang belum siap ya udah nggak apa-apa. Temen Umah juga cuman nanyain Bibah kok, kalau memang nggak siap, Umah bisa bantuin temen Umah cari yang pas,” ucap Umah cepat-cepat menenangkan aku.

Wajah syokku mungkin tidak bisa kututupi lagi. Jemariku bahkan sampai gemetaran memegangi mangkuk plastik kolakku. Reaksi di kepalaku beragam, namun dominan ingin sekali menangis.

Seharusnya memang aku sudah mengiyakan saja permintaan ta’aruf dari teman Umah tersebut, mengingat cepat atau lambat aku pun akan melewati fase itu. Namun yang menjadi buah pikiranku adalah, aku anak satu-satunya Umah. Apa pantas aku meninggalkan Umah ketika tidak satu kebanggaan pun pernah kuberikan untuknya?

“Umah pamit ya, Bibah nggak usah pikirin terus. Anggap aja latihan, nanti juga kan anak Umah bakal didatengin orang lain juga. Yang terpenting Bibah harus siapin semuanya baik-baik, usia Bibah kan udah pantes nikah,”

“Bibah belum mau nikah, Umah. Bibah masih berhutang banyak ke Umah! Bibah pengen Umah bisa liat Bibah sukses dulu, Bibah pengen bahagian Umah sama Abah dulu,” aku bersuara lemah memeluk Umah.

Bisa-bisanya urusan serumit ini harus kulalui sekarang, di usiaku yang masih menempuh pendidikan kuliah begini!

***

Kukira dengan Umah pergi, pikiran tentang obrolannya tadi juga akan ikut dibawa pergi. Nyatanya aku salah. Pikiran tersebut justru kian berseliweran sekarang, seluruh sudut kamarku seakan membisikku bahwa setidaknya waktuku berada di rumah ini tersisa kurang dari dua tahun lagi terhitung sampai aku wisuda atau mungkin lebih cepat.

Jika saja diperkenankan memohonkan satu permohonan buruk di bulan mustajab ini, aku berharap Allah mengundur waktuku bertemu jodohku hingga Abah dan Umahku benar-benar bisa merasakan hasil dari mereka membesarkan aku.

Namun perkara tersebut, sama sekali di luar pengetahuanku. Aku hanya bisa berharap kesusksesanku dipercepat sebelum aku benar-benar pergi.

“Monaaa ... tolongin aku, kok kamu bisa sibuk makan doang sih??? Toloooonggg ...” Aku meringis menonton Mona yang diam saja tak punya empati.

“Huwaaa ... Mona jahat banget. Kamu pengen ya ngeliat aku pergi dari sini??? Bilang nggak, cepetan! Kamu nggak pengen ngeliat aku pergi dari sini, kan? Kamu masih pengen ngeliat aku bareng Umah sama Abah kumpul, bercanda, sahur bareng lima tahun kedepan. Iya kan?” Tangisku semakin banjir tak terbendung.

Mona tak mengertiku sama sekali!

Kukira tidak memelihara kucing betina dengan maksud dia tidak akan beranak pinak di rumah ini adalah putusan yang tepat.

Nyatanya aku salah.

Memelihara kucing jantan yang ternyata mati rasa begini ... jauh lebih salah!

Huwaaa :'((

***

To be continued

Ramadhan Tale (END)Where stories live. Discover now