Day 10

3.6K 407 2
                                    

PUKUL 16.20 menjelang sore hari. Ibadah sholat asar telah dilaksanakan di masjid samping fakultas tarbiyah—tepat di depan gedung fakultasku. Aku tergesa-gesa dari lantai atas kelasku membawa tas kemudian tertahan di lapangan parkir depan. Bukan karena teringat barang yang kelupaan di kelas, melainkan tidak sengaja kutemukan Pak Fathar datang dari arah fakultas sebelah memasuki lapangan parkir fakultasku.

Sontak aku kikuk bak habis dihantam balok tepat di batang leher, senyumku mengembang terpaksa dengan sorot atensiku sempat melirik lengannya yang kini diperban. Luka robek hari kemarin sepertinya cukup parah.

Assalamualaikum, Pak,” sapaku canggung sebagai balasan senyumnya yang tidak sengaja mengembang duluan tadi. Dia yang semula terburu-buru hendak ke mobil kini jadi tertahan sejenak di pintunya saja.

Waalaikumussalam, Habibah,”

“Gimana tangannya, Pak?”

Alhamdulillah, sudah membaik,” jawabnya tersenyum puas menyorot perkembangan lengan robeknya itu.

Alhamdulillah. Oh iya, kok Bapak parkirnya di sini? Apa nggak kejauhan jalannya dari fakultas bahasa ke sini?” tanyaku kembali. Mobil sedan yang dahulu kutumpangi itu kulihat memarkir di parkiran fakultasku sedang jarak kedua fakultas kita berkisar 50 meter, jadi tak salah kutanyakan, kan?

“Kebetulan parkiran Bahasa full mobil, saya bingung parkir di mana. Saya bawa aja ke sini. Nggak apa-apa, kan?”

“Oh, nggak apa-apa kok, Pak. Saya nanya aja, soalnya kasian tangannya megang buku gitu ke sini,”

“Udah nggak apa-apa kok,” ujarnya lagi sembari melebarkan senyum bangganya pada kain perbannya itu, “Kamu sendiri kenapa masih di sini? Ini parkirannya udah sepi loh, berarti udah pada pulang kan temen-temennya???”

Iya, baru saja suaraku hendak keluar menjawab, ponsel di dalam saku tasku sudah berbunyi mendahuluiku saja. Aku jadi batal memberikan jawaban pertanyaan terakhir Pak Fathar setelah membaca nama panggilan yang muncul di layarku adalah Umah.

“Saya angkat telepon dulu ya, Pak,” izinku, sekaligus mendapatkan anggukan setuju darinya.

Assalamualaikum. Halo, Umah,”

“Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh. Sayang, tolong bilangin Abah jemput Umah di TPU dong,” kata Umah to the point.

“Abah kan tadi pagi ke pondok, Umah. Belum pulang kayanya. Umah emang kenapa, tumben nggak pesen taksi online aja?”

Mau, tapi handphone Umah bentar lagi mati. Kasian nanti driver-nya nggak nemu lokasi Umah,”

Pantas Umah terburu-buru.

“Yaudah, Umah tunggu di situ, biar sekalian Bibah yang jemput. Bibah bareng Pak Fathar soalnya nih, udah mau pamit, kuliahnya udah selesai,”

Kamu sama Fathar, Nak?”

“Iya kebetulan Pak Fathar parkirnya di parkiran fakultasku, jadi—”

Yaudah sekalian aja, tolong dikasih bentar handphone-nya ke Fathar, Umah mau ngomong,”

“Umah? Umah mau ngomong apa ke Kak Fathar?!” Aku berbisik tidak enak. Jangan sampai Pak Fathar mendengarnya.

“Udah dikasih aja dulu—”

“Nggak bisa, Umah, Pak Fatharnya udah mau balik,” bisikku super kecil di dekat speaker ponselku.

Coba dulu,”

Ramadhan Tale (END)Where stories live. Discover now