Day 14

3.1K 350 15
                                    

HARI terakhir kuliah, tepat di pekan kedua bulan Ramadhan. Masya Allah, tidak terasa sekali. Tidak terasa sudah libur dan tidak terasa Ramadhan tersisa setengah bulan lagi.

Moza sibuk memamerkan tiket pulang kampungnya yang dibeli secara online di muka kelas, dia akan pulang besok siang ke Medan, meninggalkan Ilham dan Oji—kawan berdebatnya.

Lain dengan Oji yang sibuk mengumpulkan tugas akhir kuliah hari ini, nampak tak ada raut gembira seperti yang Moza tunjukkan. Dia tidak akan ke mana-mana mulai besok, berhubung hari libur telah tiba dan dia tidak punya kampung untuk dijadikan tempat pulang selain di Palmerah, rumah tetapnya sejak lahir hingga sekarang. Ada hanya dia semakin dipusingkan dengan rengekan Megi, Wulan, dan Fika yang meminta nebeng di mobilnya pulang ke komplek yang sama.

Aku heran saja, kok bisa mereka berempat selalu bersama dari bangku SD hingga sekarang? Aku saja yang dari sekian banyak perempuan di kelasku, tidak satu pun yang berkuliah di sini. Ada sih satu orang, itu juga tidak begitu akrab, panggil saja Dania. Sebenarnya dia bukan teman sekolahku, kita hanya pernah satu tempat les piano. Sekarang dia di fakultas hukum dan aku FMIPA. Jadi wajar saja jika tidak saling akrab, kita jarang berinteraksi dan letak kedua fakultas kita juga bak Bumi dan Neptunus. Jauh!

“Kalian pada nggak mau ngasih gua buah tangan buat gua bawa pulang gitu??? Oji, Ilham, Fika ... nggak ada gitu?” Moza kembali melancarkan gangguan pada seisi kelas.

“Adel, Mei, Yuli, nggak mau tukeran buah tangan gitu? Entar gua kasih lu oleh-oleh, kalian juga. Deal ya, deal???”

“Za, lu nggak haus apa ya dari tadi teriak mulu? Kaya orang nggak puasa aja tenaga lu tahu nggak!” Yuli menegur dengan suara kehabisan dayanya.

“Enak aja, gua puasalah ini. Berhenti gua jadi laki kalau nggak puasa! Malu-maluin bangsa laki aja. Laki gua nih, pantang menstruasi!!!”

“Azeeggg! Siapa tadi tuh yang ngomong?” Ilham menimpali.

“Gua. Kenapa?”

Dengan gagah Moza membusungkan dadanya pada Ilham, memberi tahu bahwa kelaki-lakiannya diuji di bulan Ramadhan ini. Tidak ada cerita dia berkelakuan seperti perempuan yang bisa beralasan untuk tidak berpuasa.

“Widih, ber-da-ma-ge sekali Anda!!!”

“Iyalah! Puasa Ramadhan harga mati!”

“Wiiissshhh! Swag banget, gila!” puji Ilham mati-matian meninggikan nama Moza, “Anyway nih ya bos, kalau gua boleh tahu ... lu tadi sholat dhuhur di mana? Kok gua perhatiin masjid di depan kok lu nggak keliatan ya?”

“Gua?”

Moza menengok semua mata yang meliriknya, lalu beberapa saat kemudian dia balas menyengir kuda pertanda semua sudah tahu jawabannya.

Tidak menjadi rahasia lagi bahwa Moza sedikit kesulitan melaksanakan sholat Dhuhur dan Isya jika tidak dipaksa terlebih dahulu. Dhuhur biasanya dia malas bergerak dan Isya biasanya sibuk main game sampai ketiduran.

“Sholat itu jangan lu pandang kaya Allah yang butuh sujud lu untuk mengakui Dia sebagai Tuhan, Za. Lu nggak sholat sekalipun juga Allah nggak bakal rugi, status tuhannya nggak akan turun cuman karena lu nggak nyembah Dia,” Oji memelas sembari merapikan satu-satu kertas di depannya.

Semua mata jadi kembali menengok ke arah Oji di meja dosen sana.

“Justru kita yang butuh diakui Allah sebagai hamba-Nya. Caranya gimana? Ya sholat. Sholat itu bentuk pengakuan diri kalau kita beneran hambanya Allah. Kalau cuman modal ngaku-ngaku doang, ODGJ juga bisa,” lanjut Oji. Wajahnya nampak tidak antusias menengok seisi kelas, namun kata-katanya telah menampar satu per satu manusia di kelas ini.

Ramadhan Tale (END)Where stories live. Discover now