Day 19

2.8K 344 11
                                    

DEMI Allah jantungku rasanya hampir jatuh mengintip dari jendela keluarga Kak Fathar tiba-tiba datang berombongan ke rumahku. Bibirku sepertinya sudah pucat menahan di pintu agar tidak dibobol siapa pun dari luar sana.

“Umah! Umah mau ngapain?!” Kutahan Umah sebelum sejengkal lagi sampai di depanku, aku tidak mengizinkannya menyentuh pintu.

“Mau buka pintu, ada tamu kan. Bibah sendiri ngapain berdiri di situ? Bukannya bukain pintu buat tamunya,”

“Umah, Umah please dengerin Bibah kali ini aja ... tolong jangan dibukain pintunya ya, bahaya! Abi Barak sekeluarga datengin kita!”

“Bibah emang habis buat salah apa ke Abi Barak sampai nggak mau dibukain pintu? Cepet dong, Nak, tamu di luar nunggu loh,” Umah  khawatir.

“Nggak habis salah apa-apa, pokoknya jangan dibuka aja!”

“Loh, kok pada di pintu, Abi Barak udah mau sampai katanya,” Abah ikut datang menyusul juga.

“Ini udah di luar Abi Baraknya, Bibah yang aneh nggak mau bukain,”

“Loh kok nggak mau dibukain? Babah mau ngomong apa kalau Abi barak sampai pulang. Udah diundang jauh-jauh, masa pulang lagi,” kata Abah.

“Ha? Abah yang undang?”

“Yaiya. Abah mau bahas urusan pesantren, jadi sekalian ngomongnya sambil buka bersama aja sekeluarga. Cepet bukain pintunya!”

Yaaahh!!! Aku kira kerjaan Kak Fathar. Kalau begini aku jadi tidak enak menahan Abi Barak dan Umi Hilda di depan pintu saja menunggu. Aku kemudian luluh memutar kunci di belakangku lalu membukanya pelan-pelan.

“Hehe, assalamualaikum Abi, Umi,” sapaku beserta senyum bodohku menyambut mereka di muka pintu.

Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh,” jawab mereka.

“Maaf ya Bi, Umi, buka pintunya lama, tadi ada masalah dikit, hehe,” senyumku menyengir kaku.

“Iya nggak apa-apa, Sayang. Umi ngerti kok,” jawab Umi begitu lembut dan penuh kasih sayang. Kalau begini, rasanya aku makin merasa super bersalah. Ya Allah ... ampuni keparnoanku dan kekurangajaranku tadi, huhu.

“Masuk Umi, Abi, Kak, Sal. Babah juga udah nunggu,” ajakku kemudian mempersilakan mereka masuk.

***

Selama pembicaraan berlangsung, aku di samping Salma memilih menjadi pihak yang diam saja tak meninggalkan satu kalimat pun untuk meramaikan pembahasan setelah urusan pesantren tadi selesai dibahas, selain aku hanya mengangguk membenarkan setiap bahasan mereka.

Salma sama bosannya denganku juga, tapi dia lebih modern sedikit, sekalipun agak mengganggu. Sedari para orangtua berbicara dia santer menggulir kiri kanan kameranya menyorotku, menyorot uminya, kakaknya, semuanya. Kalau boleh ditegur paksa, aku pasti sudah merampas handphone-nya untuk melenyapkan semua hal yang ada akunya di sana.

“Kak, Kak, yang ini bagus ya?” tunjuknya pada isi video di mana kontennya berisikan separuh wajahnya disorot menyender di bahuku kemudian beberapa saat kameranya berganti memperlihatkan Kak Fathar duduk memerhatikan oborolan orang tua.

Sebagai manusia biasa, pikiran anehku tiba-tiba saja kumat dengan mengakui keindahan paras makhluk di hadapanku.

Dia tidak terlihat dua puluh sekian, malah lebih kelihatan lima tahun lebih muda atau bahkan menyerupai teman sekelasku, bedanya dia lebih berkarisma sedikit dengan kepribadian terpelajarnya.

Astagfirullah, Bibah!!!

Sadar, kamu berpikir apa barusan, hei?!

Sudah, hentikan apa pun yang kamu pikirkan tentang dia ya!!! Mau dia terlihat lebih muda dari kamu pun, kamu tidak pantas mengkhayalkannya apalagi menilainya.

Ramadhan Tale (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang