[ Part 23 ] Rindu Bunda

Start from the beginning
                                    

"Hiks, enggak. Aku nggak mau pergi sebelum dia tanggungjawab," ucap Alexa lagi.

Mendengar gadis itu terisak, membuat Nara seketika menoleh pada Alexa yang membelakanginya. Namun, sedetik kemudian Nara mengedikkan bahu dan kembali fokus pada kegiatannya.

Nara sayup-sayup mendengar bentakan lantang dari ponsel gadis itu. Hal tersebut membuat Alexa semakin menangis, terbukti dari bahunya yang bergetar hebat. Setelahnya sambungan telepon ditutup sepihak.

"ARRGHH! SIALAN!"

Lagi-lagi Nara dibuat terkejut dengan gadis yang ia ketahui bernama Alexa itu meraung seraya mengacak rambutnya frustasi. Bahkan beberapa pengunjung juga menghampiri karena penasaran sebab teriakan yang dibuat gadis itu.

Menatap punggung gadis itu yang bergetar membuat Nara iba. Ia tahu pasti Alexa sedang menangis hebat. Melihatnya yang kacau seperti itu membuat Nara lagi-lagi teringat dirinya. Entah kenapa ia merasa bahwa nasib gadis itu sama seperti dirinya. Kacau dan tidak memiliki semangat hidup.

"Hahaha, buat apa gue nangis. Nggak guna juga. Air mata gue jadi terbuang sia-sia buat tuh cowok. Kevan brengsek!"

Mendengar nama yang tak asing itu Nara membelak. Kevan? Nara yakin ia tak salah dengar bahwa gadis itu menyebut nama Kevan. Nara menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin hanya ada satu nama Kevan di dunia. Mungkin saja yang dimaksud adalah Kevan yang lain.

Nara menatap gadis berseragam SMA tersebut yang perlahan berjalan menjauh. Sedetik kemudian Nara mengedikkan bahu dan lanjut pada kegiatan memilih bahannya. Untuk apa juga dia menaruh rasa penasaran pada gadis yang bahkan tak ia kenal.


◇◇◇

Sesampainya di rumah lamanya-- rumah yang dulu Nara sebut neraka, Diandra--sang bunda menyambutnya dengan hangat di ambang pintu. Melihat wanita itu, Nara sedikit berlari ke arahnya dengan tangan membawa satu plastik berisi bahan yang ia beli tadi.

"Bunda ...." Nara menaruh belanjaannya, lantas memeluk Diandra. "Kangen."

Setelah beberapa saat pelukan mereka melerai, Diandra merapikan rambut panjang kecoklatan milik putrinya itu. Seulas senyum khas keibuan mengembang tipis di bibirnya. "Bunda juga kangen."

"Bunda gimana kabarnya?" Nara bertanya.

"Bunda baik, sayang." Diandra mengambil alih plastik belanjaan Nara, "kita lanjut ngobrol di dalem aja sambil bikin kue, gimana?"

Nara mengangguk senang, lantas berjalan membuntuti wanita itu. Diandra yang memang berjalan lebih dulu kini melenggang pergi ke dapur. Sementara Nara masih di ruang tengah. Matanya mengedar ke sekeliling mengamati suasana rumah ini yang masih sama. Sepi.

"Ngapain lo balik ke rumah ini lagi, bitch!"

Nara tersentak saat terdengar suara yang sangat ia kenal itu. Suara Felly. Mendengarnya saja sudah membuat Nara jengkel setengah mati. Ck, tidak bisakah satu harinya menjadi tenang tanpa gangguan manusia seperti Felly?

"Ngatur lo?" balas Nara.

"Cih," Felly berdecih seraya tertawa kecil. Tawa yang terdengar sangat menyebalkan di telinga Nara. "Jalang kayak lo nggak pantes menginjakkan kaki di rumah ini, Nara. Sadar diri dong," ketusnya.

Mendengar hal itu Nara tertawa pelan.  "Manusia ular kayak lo juga nggak pantes di sini. Lo lupa kalo kedudukan lo tuh cuma anak tiri di sini. Semua harta yang lo habiskan itu dari ayah gue kalo lo lupa."

Silence Of Tears (TERBIT) Where stories live. Discover now