29. Lamaran

439 76 14
                                    

Kecewa padamu? Mungkin iya, tapi aku lebih kecewa pada diriku sendiri. Yang sudah terlalu berharap padamu.

Kini Maira sedang duduk di bawah pohon rindang yang biasanya. Tidak lupa dengan buku diary dan pena yang selalu ia bawa saat berada di pohon itu. Tangan dan jari-jari lentiknya mulai menulis beberapa kata dan berakhir dengan kalimat yang cukup panjang. Ya, tentang apalagi kalau bukan hatinya.

Dulu katamu aku harus menunggumu hingga pulang kembali ke Ndalem. Katamu, aku harus tetap single jika sewaktu-waktu kamu pulang dari Bandung. Tapi apa? Kamu malah menikahi gadis lain? Aku ingin sekali mengataimu JAHAT! Tapi aku sadar, seharusnya aku tidak pernah menanggapi serius ucapanmu itu.

Jika harus dipikirkan lagi, di sini aku yang salah. Jika saja aku tidak terlalu berharap, tidak mungkin aku akan merasakan patah hati. Ya ... sepertinya aku memang bodoh jika sudah bersangkutan dengan masalah hati. Mungkin setelah ini, aku tidak akan mempercayai lelaki lagi soal hubungan yang serius.

"Dan jika ada yang mengajakku ke jenjang serius, aku mungkin harus membuatnya menunggu. Kalau dia tetap bertahan, bismillah aku terima. Walaupun aku 'tak sepenuhnya percaya." Gumam Maira seraya menutup bukunya.

🦋🦋🦋🦋


Kini kaki Maira perlahan melangkah menuju Ndalem, tetapi, langkahnya terhenti saat 'tak sengaja mendengar pembicaraan antara Abi yang entah bersama siapa. Tidak berniat untuk menguping, tetapi kalau didengar-dengar, Abi sedang berbicara tentang dirinya.

"Maaf ya, mungkin Maira akan sedikit telat. Sudah coba saya hubungi tetapi ponselnya tidak aktif."

"Iya, tidak apa-apa Kyai."

"Kamu serius Nak? Sudah yakin dengan keputusanmu?"

"In Syaa Allah Pa ... Zaky sudah yakin."

"Zaky? Ngapain dia? Dan ... kenapa bawa-bawa namaku juga?" guman Maira. Karena penasaran, Maira mulai melangkahkan kakinya ke dalam. Baru saja ia memasuki Ndalem, kini semua pasang mata sudah terarah padanya. Terutama Zaky dengan senyum manis di wajahnya. Bukannya membuat Maira jatuh hati malah geli dengan senyuman itu.

Maira mendekat ke arah Abinya, lalu berbisik. "Abi ... ini ada apa? Kenapa kedua orangtua Zaky ada di sini?"

"Nanti kamu juga tahu kok," Maira mengerucutkan bibirnya di balik cadar, apakah salah jika memberi tahu sedikit pada Maira?

"Perasaan tadi biasa aja, kenapa sekarang jantung gue kayak lagi lari maraton?!" batin Zaky.

Mama menyenggol pundak Zaky, membuat sang empu sedikit tersentak. Zaky menarik nafas lalu membuangnya pelan sebelum mengatakan to the point.

"Saya ingin melamar anak pak Kyai, yang bernama Aisyah Humaira Az-Zahra."

Deg!

Entah mengapa, bukan rasa senang yang Maira dapatkan. Melainkan bagai tersambar petir. Sangat terkejut, dan gugup. Bahkan kini mulutnya serasa dikasih lem. Tidak bisa dibuka untuk berbicara.

"Abi tidak akan mengambil keputusan sepihak, semuanya tergantung Maira saja. bagaimana Ira?" Abi menoleh ke arah Maira, membuat Maira semakin gugup. Kini pelipisnya sudah dipenuhi dengan keringat, ia tidak mau, tetapi tidak enak juga jika menolak.

Salat Tarawih [END]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن