[12]

48 12 21
                                    

Happy Reading🥀

Happy Reading🥀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

dr. Kara Xena Pratista

Semenjak Nakula mengajak gue untuk pergi ke rooftop, sejak itu juga rooftop jadi tempat pelarian gue setelah bekerja. Setiap gedung memiliki rooftop masing-masing, kalau markas gue dan Nakula adalah rooftop gedung C, maka markas pribadi gue adalah rooftop gedung A. Tepat di tempat paling atas dari poliklinik tempat gue bekerja.

Siang ini, gue ditemani sekaleng cola zero (͡° ͜ʖ ͡°), berdiri di benteng pembatas rooftop, seperti biasa gue menikmati hembusan angin sampai mata gue menyipit dan sesekali memperhatikan kondisi di bawah sana. Senyum miring gue terukir melihat dua orang yang asik bercengkrama dengan skinship yang menurut gue berlebihan itu, simpan dulu, untuk presentasi nanti kalau sudah waktunya.

Langit hari ini cerah, warnanya biru terang, awanpun ceria di semua sisi langit. Gak ada tanda-tanda akan turun hujan, matahari gak begitu panas membakar, menurut gue ini masih panas normal dari matahari di pukul 12 siang seperti ini.

Belum genap 40 hari kepergian Bapak gue, dan gue harus bersiap banyak untuk kembali pulang ke rumah Ibu di sana tepat di hari ke 40 nanti. Bukan malas, tapi akhir-akhir ini, gue terlalu nyaman untuk tinggal di sini, sendirian. Karena dengan sendirian, gue melatih diri untuk gak bergantung kepada orang lain dalam segala hal, melatih untuk menjadi diri yang berani dan mandiri. Dan yang paling penting adalah, dengan sendiri, gue terhindar dari orang-orang baru yang masuk ke kehidupan gue.

Di tempat kerja, gue mengenal mereka hanya sebagai rekan, gue gak memberi anggapan lebih terhadap mereka, baik itu Yasa, Karina sekalipun Nakula yang paling dekat dengan gue. Mereka tetap sama, hanya teman satu tempat kerja. Di luar itu, ya gue gak mau bergantung kepada mereka. Mereka mau bertamu, silakan, mereka pergi dari gue, silakan.

Dua kasus pernah gue alami dalam waktu tiga tahun. Satu kasus di pertengahan tahun 20--. Hari itu, menjadi hari paling menyakitkan bagi gue dalam lingkaran pertemanan, iya, hancur lebur, hanya menyisakan luka. Dan di akhir tahun 20--, ketika gue belum terbebas dari luka sebelumnya, gue mendapat luka baru dari orang yang juga gue anggap teman. Gue pikir, kehadiran dia akan menjadi obat dari luka sebelumnya, ternyata malah berbalik, sama-sama menjadi luka yang semakin menjauhkan gue dari orang-orang baru. Gue takut, takut akan terlibat pertemanan dan berakhir perselisihan yang gak selesai, dan ya, tentunya kepergian.

Karena itu pula, gue jadi terkesan menjauh. Gue sengaja memperkecil ruang lingkup pertemanan, karena gue adalah pribadi yang mudah menaruh harap kepada orang lain. Gue dekat dengan seseorang, gue berharap orang tersebut tinggal dan gak pernah pergi, meski pada akhirnya, dia tetap pergi, dan gue terluka karena harapan gue sendiri.

Gue hanya terus berusaha berpegang teguh pada pendirian gue, seperti ini ...

Jangan memaksa tinggal orang yang ingin pergi.
Jangan menggenggam orang yang ingin dilepas.

ACCISMUS.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang