[11]

48 11 12
                                    

Happy Reading🥀

Happy Reading🥀

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

dr. Kara Xena Pratista

Jadwal kerja yang mendadak padat, membuat tubuh gue terasa renta. Selesai bekerja dan ibadah dzuhur hari ini, gue menidurkan kepala di meja kantin berwarna putih ini, dengan tangan yang menjadi bantal bagi kepala gue. Sejenak gue menutup kedua mata, mengistirahatkan pikiran juga yang terasa mumet. Namanya manusia, penuh dengan dosa dan kekurangan. Gak bohong, kepala gue juga sakit mendengar banyak keluhan setiap harinya. Bukan sakit karena keluhan pasien, tapi sakit karena memikirkan nama obat-obatan, dan walaupun kerja gue duduk di ruangan, tapi tubuh gue tetap merasa lelah.

Cuaca juga gak mendukung, dinginnya kebangetan mulai dari maghrib. Kadang, panasnya yang kebangetan dari jam 11 sampai jam 16.

Gue menghadap kanan, tempat di mana Nakula duduk dan sibuk menyeruput es jeruk, sesekali terdengar suara Nakula yang mengunyah es batu. Cuaca lagi dingin gini, jajannya es, hobi banget menentang alam nih anak. Tangan gue menepuk tangan Nakula, dia menatap gue dengan eskpresi bertanya 'apa?', gue menunjuk pelipis gue. Begitu paham, Nakula membantu memijit pelipis gue, kepala gue nyeri, nyut-nyutan gitu. Gue gak mau selalu bergantung kepada obat antinyeri, pusing dikit Paracetamol, nyeri dikit Ibuprofen, jadi gue diemin aja lah.

Pijitan Nakula lumayan juga, bisa kali ya gue jadiin tukang pijit pribadi? Tapi gak dulu deh, takut jadi pijat plus-plus nanti. Baik gue maupun Nakula, sama-sama menanggalkan snelli masing-masing di ruangan, kita cuma pake kemeja, jadi gak ada identitas di pakaian kita, sekarang. Ya, meskipun beberapa pasien pasti mengenal kita berdua, tapi siapa peduli? Waktu periksa sudah selesai, sekarang waktu bebas wk.

" Masuk angin kali Kar " Tiba-tiba Nakula menebak, gue menggeleng sebagai jawaban. Gue gak merasa masuk angin, gak ada gejala masuk angin juga, yang gue rasa cuma tubuh gue capek, kepala gue nyut-nyutan, gue butuh untuk istirahat, fisik ataupun pikiran, ya holiday gitu misal.

Bicara tentang gue yang anak tunggal dan kepergian bapak gue beberapa waktu lalu, Ibu gue tinggal sendiri di sana. Gue sempat ajak untuk tinggal bersama gue di sini, gue bisa aja beli rumah kalau emang Ibu mau tinggal bersama gue, dan kita bisa urus tentang domisili, tapi Ibu nolak dan memilih bertahan di kampung kelahiran, Ibu bilang, gini...

'Ini tempat Ibu lahir, dan tempat Ibu mati..' Gue gak bisa melawan kalau memang itu keputusan yang terbaik menurut Ibu. Gue juga enggak keberatan kalau harus lebih sering pulang untuk menjenguk Ibu, seenggaknya, gue masih sering menelpon Ibu, menanyai kebutuhan, dan apa yang Ibu mau. Meski, akhirnya Ibu selalu bertanya 'kapan bawa calon? Ibu udah tua, udah sakit-sakitan', dan akhirnya gue memutus telpon dengan alasan gue ada urusan.

Entah, Ibu paham atau enggak apa alasan di balik gue ogah-ogahan untuk menikah. Seharusnya Ibu paham, karena alasan terbesar di balik semua itu adalah orang tua gue sendiri, iya Ibu dan Bapak. Tapi udahlah, mungkin Ibu cuma kepikiran omongan tetangga aja yang menggunjing bahwa si Kara udah jadi dokter, duit banyak, tapi kok gak nikah-nikah. Gue siram air keras tuh mulut baru tau rasa.

ACCISMUS.Where stories live. Discover now