9/9

592 131 120
                                    

Makin sepi, ya?

Jeffrey langsung pulang ke apartemennya. Di sana masih ada Jessica yang baru saja akan kembali ke Surabaya keesokan harinya. Setelah mengunjungi si kembar di rumah Louis, kakeknya. Sebab Miranda dan kedua anaknya sudah memutuskan untuk tinggal di sana setelah berpisah dengan Jeffrey secara sah.

"Sudah makan, Ma?"

"Sudah. Kamu sudah makan? Kamu selalu pulang jam setengah sembilan?"

Jeffrey langsung menatap jam dinding. Karena merasa jika waktu berjalan cepat sekali. Sebab dia datang ke apartemen Joanna pada jam setengah delapan tadi.

"Tidak. Bisa lebih awal dan sebaliknya. Tergantung pekerjaan. Mama tadi makan apa? Aku sudah makan di jalan."

Bohong Jeffrey pada ibunya. Karena dia memang jarang makan orangnya. Bahkan, dia biasa makan sehari sekali sebelum kenal Joanna. Akhir-akhir ini saja dia rajin makan karena Joanna selalu mengingatkan.

Namun tidak lagi setelah tiga bulan ke belakang. Ketika identitas Jeffrey yang sudah beristri terbongkar. Sehingga Joanna enggan membalas pesan apalagi mengingatkan makan seperti biasa.

"Ma, ada yang mau aku katakan. Penting sekali."

"Apa? Tumben. Soal perempuan yang kamu suka itu?"

Jeffrey mengangguk singkat. Lalu ikut duduk di samping Jessica. Di sofa ruang tamu apartemennya.

"Bagaimana menurut Mama?"

Tanya Jeffrey pada ibunya. Tentu saja setelah menceritakan apa yang terjadi pada hubungannya bersama Joanna. Karena dia memang tidak pernah berpacaran seumur hidupnya. Sebab sibuk belajar dan bekerja guna membalas budi pada Louis yang telah banyak membantu finansial keluarganya.

"Lebih baik kamu bersabar dulu. Baru satu hari ketuk palu, Jeff! Jangan terlalu teburu-buru. Wajar kalau dia bersikap seperti itu. Menjauh dan takut karena posisinya disulitkan olehmu."

Jeffrey diam sejenak. Lalu mengenggengam ponselnya erat-erat. Sebab Joanna memang tidak memblokir nomornya. Namun pesannya hanya dibaca dan teleponnya tidak pernah diangkat.

"Mama mau bertemu dengan dia? Besok."

"Baru saja Mama memintamu bersabar, Jeff. Jangan membuatnya ilfeel karena kamu terlalu agresif. Tunggu beberapa bulan lagi. Baru dekati. Nanti Mama bantu kalau butuh teman ke rumah orang tuanya nanti."

Setelah berkata demikian, Jessica langsung pergi ke kamar. Sebab dia tahu jika Jeffrey memang sedang gelisah sekarang. Apalagi kalau bukan karena Joanna yang sedang tidak ingin didekati oleh anaknya.

Beberapa bulan kemudian.

Joanna sedang duduk di depan lobby apartemennya. Di pagi buta, untungnya ini hari minggu dan dia libur kerja. Sehingga dia tidak perlu terburu-buru sekarang.

"Hati-hati!"

Seru Joanna sembari membawa kedua orang tuanya memasuki lift. Karena mereka datang mendadak sekali. Ingin mengatakan hal penting katanya.

Sebab kemarin sore, tiba-tiba saja Jeffrey dan Jessica datang. Melamar Joanna. Membuat Rendy dan Liana terkejut tentu saja.

Karena selama ini, Joanna tidak pernah mengadu punya pacar. Apalagi ada pria mapan yang mendekati dirinya.

Sebagai orang tua yang sudah mulai renta, Rendy dan Liana tentu sangat antusias akan kedatanagn Jeffrey dan Jessica. Membuat mereka langsung terbang ke Jakarta. Berniat mengatakan kabar ini secara langsung pada Joanna.

"Apa? Ayah dan Ibu serius? Lalu kalian jawab bagaimana? Kalian tidak---"

"Kami tidak berani langsung menjawab, lah! Kami tahu kamu yang paling berhak menentukan diterima atau tidaknya lamaran itu. Sekarang, giliran Ibu yang bertanya padamu. Kamu mau atau tidak? Katanya, kalian satu kantor juga. Jabatannya juga sudah tinggi. Bahkan---"

Ucapan Liana terjeda ketika menatap suaminya. Membuat Joanna semakin penasaran. Karena ayahnya memang agak out of the box orangnya. Maksudnya, suka kelewatan dalam bercanda.

"Ayah tidak berbicara yang macam-macam, kan?"

"Ayah hanya bercanda kemarin."

Ucap Rendy sembari menahan senyum. Karena dia tidak memakai gigi palsu. Maklum saja, ini karena ayah Joanna memang lebih tua 11 tahun dari sang ibu.

"Ayahmu minta uang sepuluh milyar untuk mas kawin, kemarin."

Joanna hanya mengelus dada. Karena terkejut dengan ucapan ayahnya. Sebab cara bercandanya memang agak keterlaluan menurutnya.

"Dia setuju, kok! Memangnya dia kaya sekali, ya? Wakil dirut gajinya berapa, sih?"

Joanna tidak menjawab dan hanya menggeleng pelan. Karena dia memang tidak ingin membuat orang tuanya berharap pada Jeffrey. Karena dia yakin, pria itu pasti tidak menyebutkan jika dia sudah pernah menikah sebelum ini.

Karena sudah pasti Rendy dan Liana akan menolak mentah-mentah niat Jeffrey jika tahu hal ini. Mengingat mereka agak kolot dan sudah pernah mengatakan jika Joanna harus menikahi pria yang setara dalam artian tidak pernah menikah sama sekali.

"Dia sudah pernah menikah. Aku yakin dia tidak menyebutkan ini kemarin. Kalau aku, sih---terserah kalian. Aku anak pertama, aku tahu kalian sudah menantikan aku menikah sejak lama. Kalau memang laki-laki itu pilihan kalian, aku terima. Karena aku memang sudah cukup mengenal baik dia sebelumnya. Dia pria baik. Sangat. Tapi, jika kalian tidak setuju, aku juga tidak akan memaksa apapun. Toh, aku juga sedang tidak buru-buru ingin menikah sekarang."

Setelah berkata seperti itu, Joanna langsung pergi memasuki kamar. Berniat mengambil ponselnya yang baru saja diisi daya. Benrniat mendial nomor Jeffrey segera. Sebab dia ingin meminta penjelasan akan apa yang baru saja pria itu lakukan.

11. 30 AM

Masih hari minggu. Saat ini Jeffrey sudah tiba di Jakarta setelah semalam menginap di Surabaya, di rumah orang tuanya. Karena dia telah mengunjungi rumah orang tua Joanna di Jawa Tengah.

"Kamu sengaja menyembunyikan status dudamu demi mendapat restu?"

Jeffrey menggeleng kaku. Lalu menatap Joanna yang saat ini sudah duduk di depannya dengan raut tidak peduli padanya saat itu. Sebab dia memang sudah pasrah dengan keadaannya kala itu.

Mau menikah atau tidak, Joanna tidak peduli sebenarnya. Toh, Jeffrey laki-lakinya. Pria yang selama ini memperlakukan secara baik dirinya. Kalaupun tidak jadi ya---tidak apa-apa. Karena dia sudah nyaman hidup sendirian sebenarnya. Namun, terkadang merasa kesepian juga karena teman-teman terdekatnya sudah menikah semua.

"Berapa tabungan yang kau punya?"

Jeffrey bingung ingin menjawab apa. Sebab jika mengatakan yang sebenarnya, dia takut jika dianggap sombong oleh mereka. Atau justru dianggap membual saja.

"Ibu!"

Tegur Joanna pada Liana. Karena bingung dengan ibunya yang mulai ikut-ikutan membahas materi di awal-awal perjumpaan.

"Aku tidak tahu masalah apa yang kamu hadapi dengan mantan istrimu. Tapi yang jelas, aku tidak ingin anakku dirugikan ketika menikah denganmu. Entah secara materi ataupun yang lain. Untuk itu, aku ingin seluruh tabunganmu dilimpahkan pada anakku juga. Agar kau tidak berani macam-macam!"

Joanna ingin kembali memprotes ucapan ibunya. Namun Jeffrey sudah terlebih dahulu menyela. Mengatakan iya dengan semangat. Seolah syarat yang diajukan Liana bukan hal yang berat baginya.

Di tempat lain, Jeno tampak sedang menangis di pelukan Miranda. Karena tubuhnya tiba-tiba panas dan ingin bertemu Jeffrey, ayahnya. Sebab pria itu memang sering datang menjenguknya. Namun, minggu ini tiba-tiba saja dia absen datang dengan alasan ingin ke Surabaya. Sendirian, tanpa mengajak si kembar seperti biasa.

Tbc...

MR. RIGHT [END] Where stories live. Discover now