SHAGA || FIFTY FIVE (2)

Start from the beginning
                                    

"Sejak kapan?

"S-sejak dua minggu lalu."

Hzel terkekeh pahit, menatap kecewa pada Dokter Anggi. "Dokter tahu, saya udah berusaha keras buat nyembunyiin ini tapi—"

"Tapi dia berhak tahu," sela Dokter Anggi. "Kalian saling menyayangi, saya tahu itu. Saya pikir, Shaga akan bisa menjadi kekuatan Non Hazel dalam menghadapi situasi sekarang."

Hazel menunduk, putus asa. "Dia..., dia pasti sedih kalau tahu aku sakit."

"Dan Non Hazel juga akan sedih kalau nggak ada Shaga yang nemenin Non Hazel di sini. Percaya sama saya, saya bahkan bisa lihat betapa hancurnya Shaga saat tahu Non kritis kemarin. Dia nggak berhenti nangis, nunggu berjam-jam di ruangan Non hari itu."

Hazel mendongak, menatap bingung. "Tunggu—"

"Saya nggak mau bohong lagi, Non. Saya kasihan lihat Non Hazel sedih terus," ucapnya, Dokter Anggi mengenggam lembut tangan Hazel dan menatapnya dalam. "Non harus tahu, Shaga banyak berkorban buat Non. Empat hari kemarin Shaga datang ke sini dalam kondisi nggak baik. Dia bikin kekacauan, ngelukain dirinya sendiri saat perawat nolak buat ambil darahnya."

"Apa?"

"Selesai mendonorkan darah, Shaga sempat nunggu Non pulang di kamar Anyelir. Nunggu di sana entah berapa jam sampai saya datang dan kasih tahu bahwa Non di ruang ICU dan butuh pertolongan. Shaga sempat ingin ketemu Non, tapi...."

"Tapi?"

Dokter Anggi menghela napas. "Tapi Tuan Elang melarang. Padahal Shaga udah mohon-mohon dan bersujud di kakinya, tapi... Shaga tetap nggak di perbolehkan lihat Non walau sebentar. Saya..., merasa kasihan sama Shaga non."

Hazel menatap kosong ke depan, entah sejak kapan matanya berbayang air yang mungkin akan terjatuh jika gadis itu berkedip.

"Akhinya hari itu Shaga pulang setelah saya minta dia buat bicara sama Papa non Hazel. Hari itu juga saya tahu papa Non masih hidup dari Shaga saat kami membicarakan perihal donor sumsum tulang belakang. Saya pikir kalau Papa Non mau mendonorka—"

"Sweetie." Suara Dokter Anggi hilang saat suara dingin Elang terdengar, keduanya kompak menoleh dan mendapati Elang bersama Anthon di temani satu dua petugas polisi. "Ngapain di sin—"

"Pa, jujur sama aku, siapa yang datang ke lapas hari itu?"

Anthon menatap bingung pada anaknya. "Nak, maksud kam—"

"Siapa yang bilang sama Papa kalau aku sakit dan lagi butuh donor?"

"Itu..., Papa nggak bis—"

"Aku nggak akan masuk ruang operasi sebelum Papa jawab jujur!" Hazel menggeram marah.

Elang bersimpuh menatap penuh peringatan. "Elysia, apa maksud lo? Bukannya gue udah—"

Hazel menoleh, menatap dingin dan asing pada Elang. "Gue nggak lagi bicara sama lo!" desisnya sinis.

Lantas Hazel kembali menatap Anthon. "Siapa, Pa?" ulangnya. "Demi Tuhan aku lebih baik mati daripada nggak tah—"

"Shaga, nak. Shaga yang datang ke sana hari itu. Shaga yang kasih tahu Papa, Shaga yang mohon-mohon sama Papa buat datang ke Rumah sakit."

Badan Hazel lemas, emosi, amarah, kekecewaan yang sempat dia rasakan beberapa detik lalu bagai lenyap dalam hitungan detik dan menghempasnya jatuh dari tebing tinggi.

"Elys—"

"Lo bohong sama gue, Lang," gumam Hazel getir. "Lo hohong sama gue berengsek!"

"Gue—"

SHAGA (SELESAI)Where stories live. Discover now