SHAGA || FIFTY ONE

Start from the beginning
                                    

            Shaga tersenyum. "Iya ma, tenang. Lagian kita udah besar, amanlah," tuturnya. "Pegangan yang, aku mau ngebut," imbuhnya lagi pada Hazel selagi mengambil tangan gadis itu untuk dia letakan di pinggangnya. "Kita sepedahan ya Ma!"

            Shaga kayuh sepeda itu dengan tenaga penuh membuat pergerakan cepat sehingga Hazel memekik kaget di detik pertama lalu tertawa karena sepada itu melaju cepat. Langit sudah mendung, dan angin cukup besar menerpa mereka, tapi hal itu tidak membuat Shaga dan Hazel berhenti. Keduanya nekat menembus rintik hujan yang mulai turun demi mengelilingi taman dekat bangunan panti dengan sepeda nya.

            Setiap Shaga mempercepat kayuhannya saat itu juga jeritan Hazel terdengar, hal itu membuat Shaga semakin gencar untuk menjahili gadis yang kini memeluknya erat di belakang. "SHAGA! PELANIN DIKIT!"

            Alih-alih menurut, Shaga justru malah berdiri hanya untuk menambah tekanan pada kaki nya yang mengayuh agar rantai bergerak dan kedua ban berputar kencang. "SHAGA AKU LONCAT YA!" Hazel mengancam.

            "HEH! JANGAN!" Shaga memperlambat kayuhannya bertepatan dengan semakin derasnya hujan turun. Sangat deras sampai kepala Shaga dan Hazel merasakan sakit karena rintik dari atas sana seperti berupa serpihan es. "Yang kita neduh!" putus Shaga.

            "Jangan!" ujar Hazel, tangan-tangan mungil gadis itu semakin erat memeluk pinggang Shaga sementara kepalanya bersandar pada punggung lebar lelaki itu. "Kalau aku minta kita terus maju, kamu keberatan?"

            "Mana mungkin, tapi aku takut kamu sakit!"

            "Nggak akan. Aku pengen sepedahan lebih lama, Ga," pintanya. Dan seperti biasa, Shaga akan menuruti tanpa banyak membantah. Sepeda akhirnya maju kembali walau tidak secepat sebelumnya.

            Hazel tersenyum, dan semakin menyandarkan kepalanya pada punggung Shaga. Gadis itu terlihat nyaman sekali walau kini sekujur tubuhnya basah. "Ga ingat nggak kita juga pernah sepedahan waktu kecil?"

            "Ingatlah, itu sepedahan kita pertama kalinya."

            "Dan karena itu juga kamu jadi celaka."

            "Jangan di bahas, yang. Udah masalalu," peringat Shaga, dia usap punggung tangan gadisnya dengan lembut.

            "Tapi aku kadang masih mikir, Ga. Kalau aja waktu itu aku nolak, kalau aja waktu itu kita nggak sepedahan, apa takdir kita bakal beda?"

            "Sayang..."

            "Nggak, bukannya aku nggak terima, tapi kadang, kalau misal kecelakaan itu nggak terjadi. Apa mungkin kamu nggak akan benci aku dulu? Apa mungkin Mama masih ada di samping aku? Apa mungkin hubungan kita nggak akan serumit ini? Apa mungkin aku sama kam—" Hazel berhenti, suaranya tercekat karena dadanya mulai sesak.

            "Sayang..."

            Hazel eratkan cekalannya pada kaus basah Shaga. "Aku benci takdir hidupku, Ga. Aku benci Mama pergi, aku benci pernah ngelewati hari-hari yang terasa sulit sendiri, aku benci nangisin kamu tiap hari, aku benci lihat kamu lebih peduli sama Nat sedangkan aku yang lebih butuh kamu saat itu. aku benci karena nggak ada satupun yang bisa aku salahin. Aku—"

            "Hazel!" Hazel mendongak merasakan bahunya di guncang, baru sadar kalau ternyata Shaga sudah turun dari sepeda sementara dia masih duduk di boncengan.

            Shaga rasakan dada nya nyeri melihat bagaimana mata gadis itu menatap sayu dan rapuh, di iris coklat terang yang dia kagumi itu, bisa Shaga rasakan bagaimana lelah dan putus asanya Hazel selama ini, dan tatapan itu seolah berhasil menembus jantung Shaga dan menambah nyeri hatinya.

SHAGA (SELESAI)Where stories live. Discover now