8. Unlucky Day

250 33 0
                                    

“Astaghfirullah!” Aku mematung di tempat kala melihat ponsel milik Pak Ilham terlempar jatuh. Dengan segera aku mengambil ponsel itu, berharap tidak rusak. Detik berikutnya hatiku mencelos kala melihat layar ponsel itu retak meski masih bisa menyala. Bagaimana ini? Aku benar-benar tidak bisa menggantinya.

“Ngapain sih lo di sini? Ngehalangin jalan aja!”

Aku berbalik badan ke arah pelaku yang menabrakku. “Lo lagi?” tanyaku terkejut.

“Apa? Mau nyalahin gue? Salah lo sendiri diam di tengah jalan!” ketus Abil.

“Emangnya lo gak lihat badan gue segede ini main tabrak aja? Lagian jalan masih lega.”

“Kok malah nyalahin gue, sih? Jelas-jelas lo yang salah diam di tengah jalan!”

Aku tidak menanggapi Abil yang saat ini marah-marah tidak jelas padaku. Aku hanya meratapi nasib. Pak Ilham pasti akan marah padaku, belum lagi bagaimana caranya aku bisa mengganti ponsel mahal ini? Aku yakin harganya sebanding dengan sepeda motor, atau mungkin lebih. Kalau diganti sementara dengan ponselku sebagai jaminan juga tidak bisa. Ponselku kan murah, sudah begitu sering error lagi. Ya Allah! Bagaimana ini?

“Heh Bila! Jangan bilang lo nangis gara-gara gue? Lo kali yang salah, jangan bertindak kalau lo yang jadi korban. Lemah banget!”

    “Ada apa ini?”

Deg! Itu suara Pak Ilham! Haduh ... aku bingung harus bagaimana. Beliau berdiri di sampingku lalu menatapku dan Abil secara bergantian.

“Kalian sedang apa di sini? Terus Bila kenapa nangis?” 

“Eh ... anu, aku gak tau, Pak. Dia tiba-tiba nangis, aku juga panik,” seru Abil. 

“Bila kenapa?” 

Kenapa bertanya saja harus dengan nada selembut itu? membuatku semakin merasa bersalah.

“Bapak jangan marah, ya? Please ... Bila janji, kok, bakal ganti. Tapi nyicil ya, Pak?” ucapku dengan wajah yang memelas, berharap Pak Ilham tidak akan marah.

“Maksudnya? Ini ada apa, sih?”

“Yang dipegang Bila itu hape Bapak bukan?” tanya Abil. Kenapa ia menanyakan hal itu, sih? Aku belum siap. Dengan refleks aku menyembunyikan ponsel Pak Ilham di balik punggung.

“Iya, kenapa?”

“Oh tadi jatuh, Pak, terus layarnya pecah parah.” Dasar Mak Lampir. Dia mengadu dengan cara memprovokasi bahwa akulah yang sepenuhnya bersalah. Padahal kan ponsel Pak Ilham jatuh karena aku ditabraknya.

Pak Ilham menatapku, dan aku jadi merasa sangat bersalah. Namun, detik berikutnya aku dan Abil menatap Pak Ilham dengan terkejut saat guru muda itu terkekeh pelan. “Jadi, Bila nangis karena hape saya pecah?”

Aku mengangguk.

“Gak apa-apa, saya masih bisa beli yang baru. Itu buat Bila aja.”

Aku melongo tidak percaya mendengarnya. “Hah?”

Lagi lagi Pak Ilham menampilkan senyum simpul yang menawan, membuatku dan Abil terpesona saja. “Hapenya buat Bila aja, lagian udah rusak juga, kan? Tapi besok saya mau memindahkan semua datanya ke hape yang lain.”

Aku masih memasang ekspresi bingung, sulit rasanya untuk memahami ucapan Pak Ilham.

*****

Kenapa mata pelajaran bahasa Inggris harus ada dua? Yang satu Bahasa Inggris, dan yang satunya lagi Sastra Inggris, lalu aku harus bertemu mereka tiga kali dalam seminggu. Menyebalkan! 

BILANGIT (END)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora