7. Is It a Dream?

Start from the beginning
                                    

Lagi lagi ia memberikanku senyuman manis. Gawat ini. Bisa-bisa aku diabetes dikasih senyuman semanis itu. 

“Duduk dulu, yuk?” tawar cowok itu, dan aku menurutinya. Kami duduk di kursi yang di sediakan di koridor.

“Maaf, ya, kalau temen aku lama. Kayaknya lagi bahas tentang olimpiade biologi.” Cowok itu kembali bersuara, tapi aku bingung harus meresponnya bagaimana, akhirnya aku malah berujung menengok ke arahnya sambil tersenyum canggung.

“Kamu ... ingat gak? Kita pernah—”

“Maaf ya Bila, jadi menunggu lama, laptopnya kasih saja ke Zidan,” ucap Bu Riana memotong ucapan cowok yang duduk di sebelahku.

Aku melihat cowok yang tadi berbincang dengan Bu Riana menghampiriku dan mengambil laptop itu dari tanganku. “Maaf ya nunggu lama,” ucapnya.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian, mataku beralih ke arah cowok yang tadi duduk di sampingku. Ia sudah berdiri dan hendak pergi. Namun sebelum itu, ia kembali melayangkanku senyuman manis, “Sampai ketemu lagi,” ucapnya yang berhasil membuat jantungku dag dig dug tidak karuan.  Ada apa ini?

*****

Di sepanjang jalan menuju kelas, tak hentinya aku memikirkan cowok itu. Aku penasaran apa yang akan dikatakannya padaku. Ahh andai saja Bu Riana tidak menyela ucapannya tadi, aku pasti sudah tahu.

Tadi ... cowok itu mengatakan kata ‘ingat’, maksudnya apa ya? Berarti selama ini ia mengenaliku? Kok rasanya senang ya dikenali cowok ganteng, hihi.

“Bila?”

Aku menoleh ke sumber suara karena namaku dipanggil. Alangkah terkejutnya diriku saat melihat Pak Ilham datang menghampiriku dengan senyuman yang menawan. Rasanya mataku ini puas melihat senyum-senyum yang indah dan rupa-rupa yang menawan. Tapi, aku kan harus menjaga pandangan, nanti malah zina mata, ihh astaghfirullah.

“Ada apa, Pak?” 

“Bisa bantu Bapak sebentar? Berhubung Bapak sekarang ngajar di kelasnya Bila, kan?”

“Iya, Pak, bantu apa?”

“Ada beberapa barang Bapak ketinggalan di mobil, bisa bantu Bapak untuk bawa barang-barangnya? Kita bagi dua.”

Aku mengangguk. “Bisa dong, Pak. Semua juga boleh, Bila kan kuat,” sahutku sembari bercanda membuat Pak Ilham terkekeh.

“Yaudah, yuk!”

Aku mengekori Pak Ilham di belakang menuju parkiran guru. Pak Ilham menyalakan alarm mobilnya untuk mengetahui dimana posisi mobilnya berada. Guru muda itu kemudian membuka bagasi dan mengambil beberapa barang.

“Bila bawa tas Bapak saja, ini sama hapenya sekalian, biar barang-barang ini Bapak yang bawa.” Pak Ilham memberikanku tasnya beserta ponsel genggam yang bisa kutebak harganya pasti sangat mahal. Kemudian, Pak Ilham mengangkat kardus itu dan kembali menutup bagasi mobilnya.

“Kalau boleh Bila tau, di dalam kardus itu isinya apa, Pak?”

“Ini soal-soal olimpiade tahun lalu untuk latihan siswa-siswi yang akan ikut olimpiade.”

Aku mengangguk-ngangguk tanda mengerti. “Bila mau ikut olimpiade juga gak?” 

Aku terkejut mendengar pertanyaan itu, “Pengen sih, Pak. Ya ... tapi banyak yang lebih pintar dibanding Bila.”

“Orang yang pintar akan kalah oleh orang yang berjuang. Kalau Bila mau ya harus berjuang. Kalau Bila benar-benar ikut olimpiade, bidang apa yang ingin diikuti?”

Haduh, ini pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Aku malu mengatakannya pada Pak Ilham. “Ehm ... ada sih Pak mata pelajaran yang Bila suka, tapi Bila gak jago.”

“Ya gak apa-apa. Gemar bukan berarti harus bisa, kan?”

“Iya, ya? Hehe.”

“Memangnya apa? Biologi? Soalnya Bu Riana sering sebut nama Bila kalau sedang bercerita ke guru-guru lain.”

“Yang benar, Pak?”

Pak Ilham mengangguk. “Iya, katanya beliau ingin kamu ikut olimpiade biologi sama Zidan, kamu juga udah ditawari, tapi menolak. Kenapa memangnya? Kan sayang.”

“Bila gak suka mata pelajaran biologi, pusing, banyak hafalannya.”

Pak Ilham tertawa kecil. “Terus kamu sukanya apa?”

“Tapi Pak Ilham jangan ketawa, ya?”

Pak Ilham mengangguk. “Iya.”

“Bila suka pelajaran fisika.”

“Wah ... mata pelajaran yang saya ajar di kelas, tuh,” ucap Pak Ilham sambil tersenyum, Pak Ilham benar-benar terlihat senang.

“Hehe. Walau Bila suka fisika, tapi nilai raport paling kecil pas kelas sepuluh itu fisika loh, Pak.”

“Kok bisa?”

“Ya bisa dong. Kan tadi Bapak bilang, suka bukan berarti harus menguasai.”

“Kalau begitu ... mau saya bantu?”

“Bantu apa?”

“Bantu belajar biar bisa ikut olimpiade.”

Langkah kakiku mendadak berhenti. Aku tidak salah dengarkan? Pak Ilham mau membantuku belajar? “Beneran, Pak?”

Pak Ilham mengangguk.

“Terima kasih, ya, Pak.”

“Sama-sama. Ngomong-ngomong rasanya ada yang aneh.”

Aku menoleh ke arah Pak Ilham. Guru muda nan tampan itu terfokus pada sesuatu, dahinya sampai mengernyit. “Apanya yang aneh?”

Pak Ilham menoleh lalu tersenyum dan berkata, “Gak ada.”

Aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa Pak Ilham bertingkah aneh seperti itu? tadi beliau melihat ke arah mana? Andaikan saja aku memakai kaca mata, mungkin aku bisa mengetahui apa yang membuat Pak Ilham kebingungan seperti itu.

“Bila?”

“Eh?” Aku terkejut karena saking fokusnya berpikir.

“Kenapa diam disitu? Ayo!” Aku mengangguk dan kembali berjalan di samping Pak Ilham. 

“Saya mau ke perpustakaan dulu, Bila langsung ke kelas saja.”

“Iya, Pak.”

Aku dan Pak Ilham berpisah di lorong yang berbeda. Pak Ilham pergi ke arah kanan dan aku ke sebelah kiri. Namun, langkahku kembali terhenti saat ponsel tergeletak dengan mengenaskan di lantai.

   

BILANGIT (END)Where stories live. Discover now